Selasa, 22 Mei 2012
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Al-manar, tafsir ulama kontemporer yang sangat
dikenal dunia. Melejit ditelinga umat Islam dan bahkan sempat menjadi
pembicaraan dikalangan masyarakat khususnya para pemikir. Tafsir al-manar ini
sebenranya buah dari Muhammad Abduh, yang kemudian ditulis muridnya, Rasyid
Ridha. Sebenarnya jika dipilah-pilah lagi, kitab tafsir ini berasal dari tiga
ulama’besar, Jamaluddin Al-Afgani, Muhammad Abduh dan sayyid Rasyid Ridha.
Tokoh pertama, Jamaluddin Al-Afgani-lah yang menanamkan gagasannya pada sahabat
dan muridnya, Muhammad Abduh yang kemudian dicerna, dan ia sampaikan lagi ketika
menjadi dosen di perguruan tinggi al-azhar pada muridnya, Rasyid Ridha yang kemudian
Ridha tulis meajdi sebuah karya yang monumental. Meski Al-manar merupakan hasil
karya pemikiran 3 tokoh besar tersebut, wajar jika karya ini lebih dinisnbatkan
pada Muhammad Rasyid Ridha karena tafsir yang terdiri dari 12 jilid ini lebih
banyak di tulis oleh Rasyid Ridha (pedapatnya), begitu juga pendapat2nya dalam
tafsir surat al-fatihah sampai dengan an-nisaa’ 129 yang ia sampaikan dengan
menggunakan lafaz ( اقول ), sedang pendapat
Abduh menggunakan sebutan ustadz al-imam.
Muhammad
Abduh, penafsir kontemporer abad 19 ini yang dilahirkan di desa Mahallat Nashr
kabupaten Buhairah, mesir 1849 M. beliau bukan berasal dari keluarga bangsawan,
ia hanyalah terlahir dari keluarga yang berprofesi sebagai petani. Meski
demikian, ayahnya termasuk orang yang terhormat dikalangan warga desa
teersebut. Di lingkungannya, sebagai petani Abduh dirasa lebih beruntung dari
saudara2nya karena Ia memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan sedangkan
saudara2nya membantu ayahnya mengolah pertanian di desanya.
Pendidikan
Abduh berawal saat Ia berusia 14th, ayahnya mengirimnya ke Masjid
Al-Hamidi Thantha utuk mempelajaribtajwid Al-qur’an. Namun sayang, setelah 2th
mengenyam pendidikan Abduh memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani
seperti saudara-saudaranyaa karena baginya pengajaran di sana dirasa sangat
menjengkelkannya. Saat ia pulang inilah ia dinikahkan, padahal pada saat itu ia
mesih berusia 16th. Meski sudah menikah ayahnya tetap memaksanya
untuk tetap belajar. Karena keenggananyya untuk belajar lagi inilah ia
melarikan dirinya ke tempat pamannya ke desa Sybrak Khit. Di kota inilah Abduh
bertemu Syaikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya yang memiliki pengetahuan
dibidang Al-qur’an dan menganut paham tasawwuf asy-syadziliah yang mampu
mengubah Abduh dari yang tadinya enggan belajar menjadi semangat. Bahkan
Abduhmenceritakan: tidak berlalu 5 hari dan masa pertemuannya dengan pamannya
itu kecuali apa yag tadinya palinh kusenangi sepertibermain, bercanda, dan
benbangga2 telah berubnah menjadi hal yang paling kubenci.
1869,
Abduh bertemu Jamaluddin Al-Afgani. Hubungan ini memungkinkannya, Abduh
mengalihkan kecenderungan yang awalnya tasawwuf
dalam arti sempit dan dalam bentuk tata cara berpakaian dan zikir
menjadi tasawwuf dalam arti lainnya, yakni tasawuf perjuangan untuk perbaikan keadaan masyarakat
dan membimbing mereka untuk maju serta
membela ajaran2 islam. Pertemuan ini juga menjadikan Abduh aktif dalam bidang
sosial dan politik yang kemudian mengantarkanya untuk tinggal di paris,
menguasai bahasa prancis, menghayati kehidupan masyarakatnya serta
berkomunikasi dengan para pemikir-pemkir Eropa saat itu.
Karya2 Abduh:
1. Tafsir juz Amma,
2. Tafsir surat wal-‘ashr,
3. Tafsir surat al-haj: 52-54, dan
Al-Ahzab: 37,
4. Tafsir surat Al-fatihah sampai surat
an-nisaa’:129 yang kemudian ditulis oleh muridnya, Rasyid Ridha.
0 komentar:
Posting Komentar