Minggu, 06 Mei 2012
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Syari’at Islam sebagaimana tertuang
dalam al-qur’an dan as-sunnah yang saat itu ‘ditaqdirkan’ turun di jazirah Arab,
terkadang menimbulkan pertanyaan, apakah teks yang tercantum itu steril dari
nilai-nilai budaya lokal ataukah ada daya tarik menarik antara syari’at dengan
budaya setempat? Atau Islam sedikit menarik ulur budaya-budaya lokal yang
kemudian disesuaikan dengan Islam itu sendiri ataukah antara keduanya berada
dalam ruang terpisah sehingga penggunaan syari’at dapat kita ‘comot’ tanpa
batas?
Perbincangan Islam Vs
budaya agaknya telah menjadi buah bibir masyarakat utamanya para pemikir. Sama
halnya dengan ‘fenomena jilbab’, apakah jilbab itu budaya atau syari’at?
Budaya adalah kebiasaan
yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dauson, dalam bukunya Age
of the gods mendefinisikan budaya sebagai cara hidup bersama (culture is common
way of life).[1]
Ketika wahyu turun dalam kondisi masyarakat, bagaimana Islam menyikapi
peradaban dan pemikiran masyarakat yang menjadi tempat diturunkannya al-Qur’an?
Perlu kita ketahui, Islam
bukanlah sebuah agama yang serba antitradisi, tetapi bukan pula sepenuhnya
protradisi. Sikap Islam terhadap tradisi selalu proporsional. Syari’at, pasti
menagandung maslahah, karena Islam merupakan sebuah agama yang selalu promashlahât dan anti mafsadât (keburukan),
Islam selalu mendukung yang baik dan benar dan tidak pernah mendukung yang
buruk dan salah. Namun demikian, keterbatasan ilmu manusia tak mampu mengetahui
semua maslahat yang terkandung dalam syari’at. Sehingga ada maslahah yang kita
ketahui dan ada juga yang tidak atau belum kita ketahui
Dalam buku pemikiran dan
peradaban Islam karya Munthoha, dkk (1998) disebutkan, ada tiga tahap sikap
Islam terhadap paradaban masyarakat Arab saat itu;
1.
Mengembangkan unsur-unsur peradaban yang mendukung
misinya. Seperti kebiasaan melayani tamu selama 3 hari.
2.
Menolak peradaban dna pemikiran yang betentangan
dengan misinya sebagai pemulia ras menusia. Misalnya, sikap Islam yang menolak
perbudakan.
3.
Mendiamkan atau menerima peradaban dan pemikiran
yang tidak mendukung dan tidak menyalahi misinya. Seperti tradisi dianjurkannya
seseorang terlibat dalam pengusungan jenazah.
Dari keterangan di atas, dimanakah
posisi jilbab? Apakah jilbab merupakan kebiasaan masyarakat yang mendukung
misinya, menentang atau merupakan kebiasaan yang didiamkan Islam?
Landasan mengenakan
berjilbab didasarkan Q.S al-Nur (24): 31;
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ …..
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali ….
Ada
beberapa pendapat mengenai asal mula ayat ini turun, salah satunya riwayat yang
menceritakan saat Asma’ binti Murtsid pemilik kebun kurma sering dikunjungi
wanita-wanita yang tidak memakai pekaian
panjang sehingga kaki, rambut (sanggul) dan dadanya terlihat. Lalu Asma
berkata; “betapa jeleknya pemandangan ini”. Lalu turunlah ayat ini sampai ayat
‘aurâtun-nisa’. [2]
Dari
sababun nuzul di atas, rasanya pertanyaan apakah jilbab itu budaya atau tidak
telah terjawab. Dan turunnya perintah jilbab menggambarkan sikap Islam dalam
menolak perilaku masyarakat saat itu. Budaya yang saat itu dilakukan wanita
jahiliyah adalah mereka mengenakan jilbab yang dijulurkan kebelakang sehingga
leher dan dadanya terlihat. Lalu Islam datang memerintahkan wanita untuk menjulurkan
jilbab sampai dadanya. [3] secara logika, jika saat
itu jilbab telah menjadi budaya yang ‘benar’, maka Islam tak perlu lagi
memerintahkan dan merinci kriteria pakaian muslimah; tidak boleh tipis
(terawang), ketat, jilbab harus menutup dada, dan menutup semua anggota badan
kecuali muka dan tangan. Memang, dalam Firman Allah disebutkan kegunaan menutup
‘aurat itu untuk menjaga kehormatan wanita agar tidak diganggu tangan-tangan
jahil. Firman Allah tersebut adalah;
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
0 komentar:
Posting Komentar