Kamis, 03 Mei 2012
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
A. Pendahuluan
Islam, adalah
agama sempurna yang Allah turunkan untuk membimbing para hambaNya melalui lisan
para Rosul yang Ia turunkan (wahyukan) berupa kitab suci al-Qur’an dan
hadirs-hadits nabi. Selama empat abad hukum islam mengalami dinamika dan
perkembangan yang pesat. Perkembangan ilmu dan teknologi semakin pesat terutama
selama dua abad terakir ini. Permasalahan pun makin mengembang dan meluas,
hal-hal yang dahulunya tidak pernah ada saat rosulullah masih hidup kini
menjadi sebuah permasalahan. Islam yang telah ‘dinobatkan’ sebagai agama yang
sempurna selalu mengalami tantangan untuk menjawab segala persoalan yang semakin
rumit. Namun demikian, seiring
perkembangan zaman para mujtahid pun bermunculan guna menyelasaikan
permasalahan-permasalahan yang semakin kompleks ini. Al-qur’an dan as-sunnah sebagai pedoman tak
pernah “diam” atas sagala permasalahan yang terlontar. Keduanya selalu menjadi
rujukan awal ditetapkannya sebuah hukum yang kemudian disusul dengan metodologi
mapan yang telah dirancang para ulama’ salaf sebagai karya handal, yakni ushul
fiqih dan segala kaidah-kaidahnya. Persoalan-persoalan yang kompleks menuntut
Islam untuk mampu memberi jawaban atas hukum-hukum yang relevan dengan
perkembangan. para mujtahid berkeyakinan hukum Islam akan selalu up to date
karena memiliki daya elastis,[1]
yakni dapat diberlakukan disegaa sektor kehidupan. Dan jika kita lihat bagaimana
perkembangan hukum islam dari masa Rosul, sahabat, tabi’in sampai masa modern
ini, kita akan menemukan hukum-hukum islam yang telah banyak mengalami
pergeseran hukum. Perubahan-perubahan hukum itu terjadi karena ke-elastisan
hukum islam yang juga sangat memperhatikan adanya unsur maslahat,
perubahan-perubahan hukum juga
dikarenakan berbedanya kondisi, tempat dan waktu terjadinya peristiwa hukum.
Metode ini sebagaimana yang telah dirumuskan ulama’ dengan bunyi kaidah; تغيرالفتوى بتغير
الازمان والامكنةوالاحوال والعوائدوالنيات ( perubahan fatwa dapat disebabkan perubahan zaman, tempat,
keadaan, kebiasaan, dan niat (motivasi)). Juga berdasarkan kaidah لاينكرتغيرالاحكام بتغيرالازمان (tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman).
Untuk
menganalisis pembahasan kali ini, penulis akan menggunakan nalar istislahy
untuk memeperoleh hukum. Maslahah, secara etimologi adalah kata tuggal
dari al-masalih, yang searti dengan kata solah, yaitu yang
mendatangkan kebaikan. Dan kadang menggunakan kata lain yaitu istislah
yang berarti mancari kebaikan.[2]
Dari sedikit uraian kata di atas dapat dikatakan bahwa setiap yang mengandung
manfaat dan menghilangkan madhorot dapat dikatakan maslahah.
Sebagaimana metode analisis lain, maslahah juga merupakan metode
pendekatan istinbat hukum yang persoalannya tidak diatur dalam nash baik
dalm al-Qur’an maupun dalam al-hadits. Meski metode istinbat ini tidak
diatur dalam nash, mayoritas ulama’ ushul fiqih menerima pendekatan nalar
istislahy ini sebagai metode kajian hukumnya. Namun metode ini cenderung
menjadi identitas fiqh Maliki yang fatwa hukumnya dikeluarkan beranjak dari
pertimbangan-pertimbangan maslahah. Adapun alasan ulama’ Malikiyah dalam
penggunaan metode ini adalah; 1) para sahabat mengorientasikan kemaslahatan
dalam tindakan keagamaannya, seperti peristiwa pengumpulan dan penulisan
al-Qur’an secara utuh dalam satu mushaf. 2) maslahah sejalan dengan maksud Syari’
dalam penetapan hukum. Mengabaikan maslahat berarti mengabaikan maksud Syari’.
3) pertimbangan maslahat dilakukan agar mukallaf tidak mengalami kesukaran
menjalani syari’at.[3]
B.
Definisi
Autopsi
Operasi pembedahan dalam bahasa Inggris dikenal istilah autopsy, yang berarti pemeriksaan terhadap jasad orang yang mati untuk mencari
sebab-sebab kematian. Kata autopsi juga berasal dari bahasa Latin, autopsia
yang berarti bedah mayat. Dari pengertian secara etimologi dapat
dikatakan bahwa autopsi adalah pembedahan mayat guna pemeriksaan dalam. Sedang
dalam terminologi ilmu kedokteran, autopsi atau bedah mayat berarti suatu
penyelidikan atau pemeriksaan tubuh mayat, termasuk alat-alat atau organ tubuh
dan susunannya pada bagian dalam setelah dilakukan pembedahan atau pelukaan,
dengan tujuan menentukan sebab kematian seseorang, baik untuk kepentingan ilmu
kedokteran maupun menjawab misteri suatu tindak kriminal.
C.
Pokok
Permasalahan
Pada dasarnya
menyakiti mayir merupakan perbuatan yang dilarang Agama karena menyakiti mayit
sama halnya dengan menyakiti orang hidup. Larangan ini didasarkan pada sabda
Rasulullah saw. berikut
حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِىُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ سَعْدٍ - يَعْنِى ابْنَ سَعِيدٍ - عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا ».
Dari hadits di
atas, jelas dikatakan bahwa kita dilarang menyakiti mayit. Karena menyakiti
mayit sama saja dengan menyakiti orang yang masih hidup. Sebenarnya larangan
ini berkenaan yang terjadi saat orang menggali kuburan, yakni ketika ia
(penggali kubur) mendapati tulang-belulang mayat yang dikubur itu lalu ia
memecahnya. Perbuatan yang demikian ini dianggap tidak senonoh meskipun hal itu
dilakukan oleh orang yang telah meninggal. karena tulang mayat pun masih harus
kita hormati. [4]
Pembahasan kali
ini adalah bagaimana hukum membedah perut mayit hamil untuk mengeluarkan bayi
yang ada dalam kadungannya. Maka pertanyaan yang muncul adalah, apakah sama hukum
membedah perut mayit tersebut dengan hukum memecah tulang mayit? Untuk
menyamakan hukum tersebut maka kita perlu mengetahui ‘illat yang ada
pada larangan hadits di atas. ‘Illat dari larangan hadits di atas tidak
lain adalah menyakiti mayit. Lalu bagaimana dengan hukum Autopsi untuk
mneyelamatkan bayi dalam kandungannya itu? Apakah Autopsi itu juga termasuk
menyakiti mayit sehingga hukumnya pun bias disamakan dengan hokum memecahkan
tulang mayit? Jika kita lihat, manfaat dan kegunaan Autopsi sangat banyak
diantaranya adalah: kepentingan penegakkan
hukum; menyelamatkan janin yang masih hidup di dalam rahim mayat; untuk
mengeluarkan benda yang berharga dari mayat (misalnya untuk mengambil barang
curian yang ditelan), dan untuk keperluan
penelitian ilmu kedokteran.
Ulama terdahulu berpendapat, Jika seorang wanita hamil
meninggal dan di dalam perutnya terdapat bayi yang masih hidup maka haram
hukumnya membedah perut wanita itu, akan tetapi dengan cara pengobatan dan
memasukkan tangan untuk mengambil janin bayi jika masih bisa diharapkan untuk
hidupnya. Jika terdapat halangan dalam
melaksanakan hal itu maka mayat itu tidak dikubur dahulu hingga bayi yang di
dalam perutnya itu mati. Jika sebagian tubuh bayi itu telah keluar dalam
keadaan hidup maka untuk mengeluarkan bagian lainnya, boleh dengan cara
membedah perut mayat jika diperlukan.[5]
Pendapat ini didasarkan karena membedah perut mayit itu dianggap menyakiti
mayit tersebut. Hal ini jelas berbeda dengan Autopsi, zaman ini ilmu kedokteran
telah semakin canggih, di mana proses pembedahan perut atau sebagian tubuh
lainnya tidak termasuk penyiksaan terhadap mayat. Bahkan membedah perut juga
dilakukan pada orang yang masih hidup, seperti operasi Caesar yang dilakukan
wanita yang akan melahirkan. Hal ini menunjukkan bahwa membedah perut tidak
dapat dikatakan menyakiti mayit.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa
membedah perut mayit dengan autopsy saat ini tidak dapat disamakan dengan hukum
larangan memecahkan tulang mayit. Maka, jika ditinjau dari kerangka nalar
ta’lily, kedua hukumnya pun akan berbeda karena ‘illat keduanya pun
berbeda.
Sebagaimana hadits di atas, pada dasarnya
memebedah perut mayit merupakan mafsadah yang harus dihindari. Dalam hal ini
ulama’ berbeda pendapat. Imam Malik dan Ahmad mengatakan tidak boleh di bedah perut seorang
wanita meskipun bayi yang ada dalam pertnya masih hidup namun dikeluarkan
dengan cara diambil dari jalan farji oleh tenaga medis. Sejalan dengan pendapat
Imam Malik, Imam Ibnu Qudamah berpendapat : Hal ini karena
bayi itu belum pasti masih hidup dan memang biasanya tidak bisa hidup, maka
tidak diperbolehkan melanggar suatu yang sudah jelas keharamannya demi sesuatu
yang masih belum jelas. Berbeda dengan Imam Syafi’i, Ibnu Hazm dan sebagian ulama’
Malikiyah, mereka mengatakan bahwa dalam keadaan seperti itu dibedah perut ibu
demi keselamatan bayi yang masih dalam kandungannya.
Memang pada
dasarnya menyakiti mayit merupakan hal yang diharamkan jika memang tidak ada
unsur kemaslahatan yang diperoleh. Namun jika membadah perut mayit itu
bertentangan dengan kemaslahatan yang lebih kuat, maka mengambil kemaslahatan
yang sudah pasti itulah yang diutamakan. Dengan kata lain, membedah perut mayit
untuk menyelamatkan bayi yang masih hidup itu dibolehkan karena sudah jelas
kemaslahatannya. Dimana jika perut wanita tidak disobek, maka bayi yang asalnya
hidup akan segera mati. Bukankah hifdzun an-nafz merupakan salah satu
dari lima maqosid asy-syari’ah yang harus dijaga?[6]
dan bukankah menjaganya merupakan kemaslahatan dhoruri yang harus
dilakukan? Selain itu, ulama juga sepekat bahwa orang hidup harus diperhatikan
daripada orang yang mati.
Alasan kebolehan
ini disandarkan pada besarnya kemaslahatan yang akan dicapai. Dimana jika ada
kemaslahatan berhadapan dengan beberapa kerusakan, maka kemaslahatan yang
paling besar harus lebih diutamakan dan kerusakan yang sifatnya kecil harus
dilaksanakan. Kemaslahatan tidak membedah perut memang merupakan kemaslahatan
yang seharusnya dicapai, namun kemaslahatan bayi juga merupakan kemaslahatan
yang jauh lebih besar. Demikian juga, membedah perut mayit wanita hamil
merupakan kerusakan, namun membiarkan bayi meninggal merupakan kerusakan yang lebih
besar. [7]
Dalam kaidah fiqh disebutkan اذا تعارض مفسدتان روعي اعظمها ضرارا باركب اخفهما (jika
ada dua mafsadah (kerusakan) maka yang dilakukan adalah mengambil kerusakan
yang lebih kecil dan menghindari mafsadah yang lebih besar). Dengan kata lain,
membadah perut wanita hamil harus dilakukan demi menghindari mafsadah yang
lebih besar, yakni membiarkan bayi meninggal dalam perut. Dan jika kita lihat,
perkembangan teknologi dewasa ini jauh berbeda dengan zaman nabi maupun zaman
ulama’ salaf. Proses operasipun telah banyak dilakukan dikalangan kedoteran.
Jika dahulu membedah perut itu merupakan suatu mafsadah/kerusakan, berbada
dengan zaman sekarang dimana semua orang sepakat bahwa membedah perut bukanlah
hal yang dianggap mafsadah. Bahkan hal ini juga banyak dilakukan orang-orang
yang masih hidup. Bahkan orang hidup pun boleh melakukannya, misalnya bedah
jantung, pedah peerut (Caesar), dll.
Oleh karenanya, membedah perut sang ibu untuk menyelamatkan bayi bukanlah
sebuah bentuk penghinaan terhadap mayat.
Pendapat ini
juga diamini oleh Syaikh As-Sa’di, Ia membolehkan membedah perut mayit untuk
menyelamatkan bayi hidup dalam perut wanita
berdasarkan kemaslahatan yang lebih besar, dan As-Sa’di juga menganggap
dalam hal ini tidak ada unsur mafsadah (kerusakan) atau madhorot. Begitu juga menurut ulama’ kontemporer abad
21, Yusuf Qordhowi, dalam hal ini tidak dianggap merusak martabat orang mati.
Dari berbagai
pertimbangan di atas, makan hukum membedah perut mayit untuk menyelamatkan bayi
hidup bukan sekedar diperbolehkan (mubah), namun hal ini telah mencapai tigkat dhoruri,
yakni sebagai bentuk penjagaan jiwa (hidzun nafs) yang hukumnya
wajib. Maka yang benar adalah pendapat yang mewajibkan pembedahan perut ibu
jika para dokter menguatkan kemungkinan bayi itu bisa hidup selepas operasi
bedah tersebut. Syaikh Ahmad Syakir dalam
Ta’liq Al Muhalla berkata:“Adapun mengeluarkan bayi yang masih hidup dalam
kandungan sang ibu maka hal ini wajib dilakukan. Adapun bagaimana caranya, hal
itu terserah kepada para ahlinya baik seorang dokter maupun dukun bayi.”
D. Kesimpulan
Pada dasarnya hukum membedah mayit itu
dilarang jika memang tidak ada keperluan yang mendesak. Membedah perut mayit
untuk menyelamatkan bayi hidup merupakan kebutuhan yang amat mendesak (dhorurot),
sehingga hukumnya pun bergeser dari haram menjadi mubah, الضرورة تبيح المحضوراة (dhorurat itu membolehkan
yang dilarang).
Ditinjau dari segi penyamaan ‘illat,
ternyata antara memecahkan tulang mayat dengan autopsy berbeda. Autopsy tidak
mengandung unsur menyakiti mayit sebagaimana ‘illat dilarangnya memecahkan
tulang mayat. Sedangkan ditinjau dari unsure maslahah, memebedah membedah perut
di sini merupakan kemaslahatan yang harus dicapai guna menyelamatkan bayi yang
hidup dalam kandungan mayit tersebut. Dan Autposi yang dilakukan pada zaman
sekarang tidak dapat dikatakan sebagai pelecehan atau perusakan terhadap mayat
itu sendiri. Dari beberapa penjelasan di atas, hukum membedah perut mayit untuk
menyelamatkan bayi hidup itu diwajibkan karena menyelamatkan nyawa itu
merupakan dhoruri yang harus dilakukan.
[1]
Dr. Badri Khaeruman, M.Ag, Hukum
islam dalam perubahan sosial,.
[2] Drs. Hasbi umar, Nalar fiqih
kontemporer, cet. Ke-1 (jakarta; gaung persada press, 2007), hlm
112.
[3] Idem,
[4]
Tanya jawab agama
[6]
ada yang berpendapat maqoshid asy-syari’ah ada 6, dari 5 maqshod yang masyhur,
ditambah satu maqsho lagi yakni kehormatan.
[7]
Yusuf Qordhowi, Maqoshid Syari’ah, cet 1,hlm 251.
0 komentar:
Posting Komentar