Kamis, 03 Mei 2012

Hukum Membedah Perut Wanita Mati Untuk Menyelamatkan Bayi Hidup


   A.     Pendahuluan
Islam, adalah agama sempurna yang Allah turunkan untuk membimbing para hambaNya melalui lisan para Rosul yang Ia turunkan (wahyukan) berupa kitab suci al-Qur’an dan hadirs-hadits nabi. Selama empat abad hukum islam mengalami dinamika dan perkembangan yang pesat. Perkembangan ilmu dan teknologi semakin pesat terutama selama dua abad terakir ini. Permasalahan pun makin mengembang dan meluas, hal-hal yang dahulunya tidak pernah ada saat rosulullah masih hidup kini menjadi sebuah permasalahan. Islam yang telah ‘dinobatkan’ sebagai agama yang sempurna selalu mengalami tantangan untuk menjawab segala persoalan yang semakin rumit. Namun  demikian, seiring perkembangan zaman para mujtahid pun bermunculan guna menyelasaikan permasalahan-permasalahan yang semakin kompleks ini.  Al-qur’an dan as-sunnah sebagai pedoman tak pernah “diam” atas sagala permasalahan yang terlontar. Keduanya selalu menjadi rujukan awal ditetapkannya sebuah hukum yang kemudian disusul dengan metodologi mapan yang telah dirancang para ulama’ salaf sebagai karya handal, yakni ushul fiqih dan segala kaidah-kaidahnya. Persoalan-persoalan yang kompleks menuntut Islam untuk mampu memberi jawaban atas hukum-hukum yang relevan dengan perkembangan. para mujtahid berkeyakinan hukum Islam akan selalu up to date karena memiliki daya elastis,[1] yakni dapat diberlakukan disegaa sektor kehidupan. Dan jika kita lihat bagaimana perkembangan hukum islam dari masa Rosul, sahabat, tabi’in sampai masa modern ini, kita akan menemukan hukum-hukum islam yang telah banyak mengalami pergeseran hukum. Perubahan-perubahan hukum itu terjadi karena ke-elastisan hukum islam yang juga sangat memperhatikan adanya unsur maslahat, perubahan-perubahan hukum  juga dikarenakan berbedanya kondisi, tempat dan waktu terjadinya peristiwa hukum. Metode ini sebagaimana yang telah dirumuskan ulama’ dengan bunyi kaidah;  تغيرالفتوى بتغير الازمان والامكنةوالاحوال والعوائدوالنيات ( perubahan fatwa dapat disebabkan perubahan zaman, tempat, keadaan, kebiasaan, dan niat (motivasi)). Juga berdasarkan kaidah لاينكرتغيرالاحكام بتغيرالازمان (tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman).
Untuk menganalisis pembahasan kali ini, penulis akan menggunakan nalar istislahy untuk memeperoleh hukum. Maslahah, secara etimologi adalah kata tuggal dari al-masalih, yang searti dengan kata solah, yaitu yang mendatangkan kebaikan. Dan kadang menggunakan kata lain yaitu istislah yang berarti mancari kebaikan.[2] Dari sedikit uraian kata di atas dapat dikatakan bahwa setiap yang mengandung manfaat dan menghilangkan madhorot dapat dikatakan maslahah. Sebagaimana metode analisis lain, maslahah juga merupakan metode pendekatan istinbat hukum yang persoalannya tidak diatur dalam nash baik dalm al-Qur’an maupun dalam al-hadits. Meski metode istinbat ini tidak diatur dalam nash, mayoritas ulama’ ushul fiqih menerima pendekatan nalar istislahy ini sebagai metode kajian hukumnya. Namun metode ini cenderung menjadi identitas fiqh Maliki yang fatwa hukumnya dikeluarkan beranjak dari pertimbangan-pertimbangan maslahah. Adapun alasan ulama’ Malikiyah dalam penggunaan metode ini adalah; 1) para sahabat mengorientasikan kemaslahatan dalam tindakan keagamaannya, seperti peristiwa pengumpulan dan penulisan al-Qur’an secara utuh dalam satu mushaf. 2) maslahah sejalan dengan maksud Syari’ dalam penetapan hukum. Mengabaikan maslahat berarti mengabaikan maksud Syari’. 3) pertimbangan maslahat dilakukan agar mukallaf tidak mengalami kesukaran menjalani syari’at.[3]
B.  Definisi Autopsi
Operasi pembedahan dalam bahasa Inggris dikenal istilah autopsy,  yang berarti pemeriksaan terhadap jasad orang yang mati untuk mencari sebab-sebab kematian. Kata autopsi juga berasal dari bahasa Latin, autopsia yang berarti bedah mayat. Dari pengertian secara etimologi dapat dikatakan bahwa autopsi adalah pembedahan mayat guna pemeriksaan dalam. Sedang dalam terminologi ilmu kedokteran, autopsi atau bedah mayat berarti suatu penyelidikan atau pemeriksaan tubuh mayat, termasuk alat-alat atau organ tubuh dan susunannya pada bagian dalam setelah dilakukan pembedahan atau pelukaan, dengan tujuan menentukan sebab kematian seseorang, baik untuk kepentingan ilmu kedokteran maupun menjawab misteri suatu tindak kriminal.
C.     Pokok Permasalahan
Pada dasarnya menyakiti mayir merupakan perbuatan yang dilarang Agama karena menyakiti mayit sama halnya dengan menyakiti orang hidup. Larangan ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw. berikut
حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِىُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ سَعْدٍ - يَعْنِى ابْنَ سَعِيدٍ - عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا ».
Dari hadits di atas, jelas dikatakan bahwa kita dilarang menyakiti mayit. Karena menyakiti mayit sama saja dengan menyakiti orang yang masih hidup. Sebenarnya larangan ini berkenaan yang terjadi saat orang menggali kuburan, yakni ketika ia (penggali kubur) mendapati tulang-belulang mayat yang dikubur itu lalu ia memecahnya. Perbuatan yang demikian ini dianggap tidak senonoh meskipun hal itu dilakukan oleh orang yang telah meninggal. karena tulang mayat pun masih harus kita hormati. [4]
Pembahasan kali ini adalah bagaimana hukum membedah perut mayit hamil untuk mengeluarkan bayi yang ada dalam kadungannya. Maka pertanyaan yang muncul adalah, apakah sama hukum membedah perut mayit tersebut dengan hukum memecah tulang mayit? Untuk menyamakan hukum tersebut maka kita perlu mengetahui ‘illat yang ada pada larangan hadits di atas. ‘Illat dari larangan hadits di atas tidak lain adalah menyakiti mayit. Lalu bagaimana dengan hukum Autopsi untuk mneyelamatkan bayi dalam kandungannya itu? Apakah Autopsi itu juga termasuk menyakiti mayit sehingga hukumnya pun bias disamakan dengan hokum memecahkan tulang mayit? Jika kita lihat, manfaat dan kegunaan Autopsi sangat banyak diantaranya adalah: kepentingan penegakkan hukum; menyelamatkan janin yang masih hidup di dalam rahim mayat; untuk mengeluarkan benda yang berharga dari mayat (misalnya untuk mengambil barang curian yang ditelan), dan untuk keperluan penelitian ilmu kedokteran.
Ulama terdahulu berpendapat, Jika seorang wanita hamil meninggal dan di dalam perutnya terdapat bayi yang masih hidup maka haram hukumnya membedah perut wanita itu, akan tetapi dengan cara pengobatan dan memasukkan tangan untuk mengambil janin bayi jika masih bisa diharapkan untuk hidupnya. Jika terdapat halangan dalam melaksanakan hal itu maka mayat itu tidak dikubur dahulu hingga bayi yang di dalam perutnya itu mati. Jika sebagian tubuh bayi itu telah keluar dalam keadaan hidup maka untuk mengeluarkan bagian lainnya, boleh dengan cara membedah perut mayat jika diperlukan.[5] Pendapat ini didasarkan karena membedah perut mayit itu dianggap menyakiti mayit tersebut. Hal ini jelas berbeda dengan Autopsi, zaman ini ilmu kedokteran telah semakin canggih, di mana proses pembedahan perut atau sebagian tubuh lainnya tidak termasuk penyiksaan terhadap mayat. Bahkan membedah perut juga dilakukan pada orang yang masih hidup, seperti operasi Caesar yang dilakukan wanita yang akan melahirkan. Hal ini menunjukkan bahwa membedah perut tidak dapat dikatakan menyakiti mayit.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa membedah perut mayit dengan autopsy saat ini tidak dapat disamakan dengan hukum larangan memecahkan tulang mayit. Maka, jika ditinjau dari kerangka nalar ta’lily, kedua hukumnya pun akan berbeda karena ‘illat keduanya pun berbeda.
Sebagaimana hadits di atas, pada dasarnya memebedah perut mayit merupakan mafsadah yang harus dihindari. Dalam hal ini ulama’ berbeda pendapat. Imam Malik dan Ahmad mengatakan tidak boleh di bedah perut seorang wanita meskipun bayi yang ada dalam pertnya masih hidup namun dikeluarkan dengan cara diambil dari jalan farji oleh tenaga medis. Sejalan dengan pendapat Imam Malik, Imam Ibnu Qudamah berpendapat : Hal ini karena bayi itu belum pasti masih hidup dan memang biasanya tidak bisa hidup, maka tidak diperbolehkan melanggar suatu yang sudah jelas keharamannya demi sesuatu yang masih belum jelas. Berbeda dengan Imam Syafi’i, Ibnu Hazm dan sebagian ulama’ Malikiyah, mereka mengatakan bahwa dalam keadaan seperti itu dibedah perut ibu demi keselamatan bayi yang masih dalam kandungannya.
Memang pada dasarnya menyakiti mayit merupakan hal yang diharamkan jika memang tidak ada unsur kemaslahatan yang diperoleh. Namun jika membadah perut mayit itu bertentangan dengan kemaslahatan yang lebih kuat, maka mengambil kemaslahatan yang sudah pasti itulah yang diutamakan. Dengan kata lain, membedah perut mayit untuk menyelamatkan bayi yang masih hidup itu dibolehkan karena sudah jelas kemaslahatannya. Dimana jika perut wanita tidak disobek, maka bayi yang asalnya hidup akan segera mati. Bukankah hifdzun an-nafz merupakan salah satu dari lima maqosid asy-syari’ah yang harus dijaga?[6] dan bukankah menjaganya merupakan kemaslahatan dhoruri yang harus dilakukan? Selain itu, ulama juga sepekat bahwa orang hidup harus diperhatikan daripada orang yang mati.
Alasan kebolehan ini disandarkan pada besarnya kemaslahatan yang akan dicapai. Dimana jika ada kemaslahatan berhadapan dengan beberapa kerusakan, maka kemaslahatan yang paling besar harus lebih diutamakan dan kerusakan yang sifatnya kecil harus dilaksanakan. Kemaslahatan tidak membedah perut memang merupakan kemaslahatan yang seharusnya dicapai, namun kemaslahatan bayi juga merupakan kemaslahatan yang jauh lebih besar. Demikian juga, membedah perut mayit wanita hamil merupakan kerusakan, namun membiarkan bayi meninggal merupakan kerusakan yang lebih besar. [7] Dalam kaidah fiqh disebutkan اذا تعارض مفسدتان روعي اعظمها ضرارا باركب اخفهما  (jika ada dua mafsadah (kerusakan) maka yang dilakukan adalah mengambil kerusakan yang lebih kecil dan menghindari mafsadah yang lebih besar). Dengan kata lain, membadah perut wanita hamil harus dilakukan demi menghindari mafsadah yang lebih besar, yakni membiarkan bayi meninggal dalam perut. Dan jika kita lihat, perkembangan teknologi dewasa ini jauh berbeda dengan zaman nabi maupun zaman ulama’ salaf. Proses operasipun telah banyak dilakukan dikalangan kedoteran. Jika dahulu membedah perut itu merupakan suatu mafsadah/kerusakan, berbada dengan zaman sekarang dimana semua orang sepakat bahwa membedah perut bukanlah hal yang dianggap mafsadah. Bahkan hal ini juga banyak dilakukan orang-orang yang masih hidup. Bahkan orang hidup pun boleh melakukannya, misalnya bedah jantung, pedah peerut (Caesar), dll. Oleh karenanya, membedah perut sang ibu untuk menyelamatkan bayi bukanlah sebuah bentuk penghinaan terhadap mayat.
Pendapat ini juga diamini oleh Syaikh As-Sa’di, Ia membolehkan membedah perut mayit untuk menyelamatkan bayi hidup dalam perut wanita  berdasarkan kemaslahatan yang lebih besar, dan As-Sa’di juga menganggap dalam hal ini tidak ada unsur mafsadah (kerusakan) atau madhorot.  Begitu juga menurut ulama’ kontemporer abad 21, Yusuf Qordhowi, dalam hal ini tidak dianggap merusak martabat orang mati.
Dari berbagai pertimbangan di atas, makan hukum membedah perut mayit untuk menyelamatkan bayi hidup bukan sekedar diperbolehkan (mubah), namun hal ini telah mencapai tigkat dhoruri, yakni sebagai bentuk penjagaan jiwa (hidzun nafs) yang hukumnya wajib. Maka yang benar adalah pendapat yang mewajibkan pembedahan perut ibu jika para dokter menguatkan kemungkinan bayi itu bisa hidup selepas operasi bedah tersebut. Syaikh Ahmad Syakir dalam Ta’liq Al Muhalla berkata:“Adapun mengeluarkan bayi yang masih hidup dalam kandungan sang ibu maka hal ini wajib dilakukan. Adapun bagaimana caranya, hal itu terserah kepada para ahlinya baik seorang dokter maupun dukun bayi.”
D.     Kesimpulan
          Pada dasarnya hukum membedah mayit itu dilarang jika memang tidak ada keperluan yang mendesak. Membedah perut mayit untuk menyelamatkan bayi hidup merupakan kebutuhan yang amat mendesak (dhorurot), sehingga hukumnya pun bergeser dari haram menjadi mubah, الضرورة تبيح المحضوراة (dhorurat itu membolehkan yang dilarang).
          Ditinjau dari segi penyamaan ‘illat, ternyata antara memecahkan tulang mayat dengan autopsy berbeda. Autopsy tidak mengandung unsur menyakiti mayit sebagaimana ‘illat dilarangnya memecahkan tulang mayat. Sedangkan ditinjau dari unsure maslahah, memebedah membedah perut di sini merupakan kemaslahatan yang harus dicapai guna menyelamatkan bayi yang hidup dalam kandungan mayit tersebut. Dan Autposi yang dilakukan pada zaman sekarang tidak dapat dikatakan sebagai pelecehan atau perusakan terhadap mayat itu sendiri. Dari beberapa penjelasan di atas, hukum membedah perut mayit untuk menyelamatkan bayi hidup itu diwajibkan karena menyelamatkan nyawa itu merupakan dhoruri yang harus dilakukan.



[1] Dr. Badri Khaeruman, M.Ag,  Hukum islam dalam perubahan sosial,.
[2] Drs. Hasbi umar, Nalar fiqih kontemporer, cet. Ke-1 (jakarta; gaung persada press, 2007), hlm 112.
[3] Idem,
[4] Tanya jawab agama
[6] ada yang berpendapat maqoshid asy-syari’ah ada 6, dari 5 maqshod yang masyhur, ditambah satu maqsho lagi yakni kehormatan.
[7] Yusuf Qordhowi, Maqoshid Syari’ah, cet 1,hlm 251.

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

About

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Pages - Menu

Kamis, 03 Mei 2012

Hukum Membedah Perut Wanita Mati Untuk Menyelamatkan Bayi Hidup


   A.     Pendahuluan
Islam, adalah agama sempurna yang Allah turunkan untuk membimbing para hambaNya melalui lisan para Rosul yang Ia turunkan (wahyukan) berupa kitab suci al-Qur’an dan hadirs-hadits nabi. Selama empat abad hukum islam mengalami dinamika dan perkembangan yang pesat. Perkembangan ilmu dan teknologi semakin pesat terutama selama dua abad terakir ini. Permasalahan pun makin mengembang dan meluas, hal-hal yang dahulunya tidak pernah ada saat rosulullah masih hidup kini menjadi sebuah permasalahan. Islam yang telah ‘dinobatkan’ sebagai agama yang sempurna selalu mengalami tantangan untuk menjawab segala persoalan yang semakin rumit. Namun  demikian, seiring perkembangan zaman para mujtahid pun bermunculan guna menyelasaikan permasalahan-permasalahan yang semakin kompleks ini.  Al-qur’an dan as-sunnah sebagai pedoman tak pernah “diam” atas sagala permasalahan yang terlontar. Keduanya selalu menjadi rujukan awal ditetapkannya sebuah hukum yang kemudian disusul dengan metodologi mapan yang telah dirancang para ulama’ salaf sebagai karya handal, yakni ushul fiqih dan segala kaidah-kaidahnya. Persoalan-persoalan yang kompleks menuntut Islam untuk mampu memberi jawaban atas hukum-hukum yang relevan dengan perkembangan. para mujtahid berkeyakinan hukum Islam akan selalu up to date karena memiliki daya elastis,[1] yakni dapat diberlakukan disegaa sektor kehidupan. Dan jika kita lihat bagaimana perkembangan hukum islam dari masa Rosul, sahabat, tabi’in sampai masa modern ini, kita akan menemukan hukum-hukum islam yang telah banyak mengalami pergeseran hukum. Perubahan-perubahan hukum itu terjadi karena ke-elastisan hukum islam yang juga sangat memperhatikan adanya unsur maslahat, perubahan-perubahan hukum  juga dikarenakan berbedanya kondisi, tempat dan waktu terjadinya peristiwa hukum. Metode ini sebagaimana yang telah dirumuskan ulama’ dengan bunyi kaidah;  تغيرالفتوى بتغير الازمان والامكنةوالاحوال والعوائدوالنيات ( perubahan fatwa dapat disebabkan perubahan zaman, tempat, keadaan, kebiasaan, dan niat (motivasi)). Juga berdasarkan kaidah لاينكرتغيرالاحكام بتغيرالازمان (tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman).
Untuk menganalisis pembahasan kali ini, penulis akan menggunakan nalar istislahy untuk memeperoleh hukum. Maslahah, secara etimologi adalah kata tuggal dari al-masalih, yang searti dengan kata solah, yaitu yang mendatangkan kebaikan. Dan kadang menggunakan kata lain yaitu istislah yang berarti mancari kebaikan.[2] Dari sedikit uraian kata di atas dapat dikatakan bahwa setiap yang mengandung manfaat dan menghilangkan madhorot dapat dikatakan maslahah. Sebagaimana metode analisis lain, maslahah juga merupakan metode pendekatan istinbat hukum yang persoalannya tidak diatur dalam nash baik dalm al-Qur’an maupun dalam al-hadits. Meski metode istinbat ini tidak diatur dalam nash, mayoritas ulama’ ushul fiqih menerima pendekatan nalar istislahy ini sebagai metode kajian hukumnya. Namun metode ini cenderung menjadi identitas fiqh Maliki yang fatwa hukumnya dikeluarkan beranjak dari pertimbangan-pertimbangan maslahah. Adapun alasan ulama’ Malikiyah dalam penggunaan metode ini adalah; 1) para sahabat mengorientasikan kemaslahatan dalam tindakan keagamaannya, seperti peristiwa pengumpulan dan penulisan al-Qur’an secara utuh dalam satu mushaf. 2) maslahah sejalan dengan maksud Syari’ dalam penetapan hukum. Mengabaikan maslahat berarti mengabaikan maksud Syari’. 3) pertimbangan maslahat dilakukan agar mukallaf tidak mengalami kesukaran menjalani syari’at.[3]
B.  Definisi Autopsi
Operasi pembedahan dalam bahasa Inggris dikenal istilah autopsy,  yang berarti pemeriksaan terhadap jasad orang yang mati untuk mencari sebab-sebab kematian. Kata autopsi juga berasal dari bahasa Latin, autopsia yang berarti bedah mayat. Dari pengertian secara etimologi dapat dikatakan bahwa autopsi adalah pembedahan mayat guna pemeriksaan dalam. Sedang dalam terminologi ilmu kedokteran, autopsi atau bedah mayat berarti suatu penyelidikan atau pemeriksaan tubuh mayat, termasuk alat-alat atau organ tubuh dan susunannya pada bagian dalam setelah dilakukan pembedahan atau pelukaan, dengan tujuan menentukan sebab kematian seseorang, baik untuk kepentingan ilmu kedokteran maupun menjawab misteri suatu tindak kriminal.
C.     Pokok Permasalahan
Pada dasarnya menyakiti mayir merupakan perbuatan yang dilarang Agama karena menyakiti mayit sama halnya dengan menyakiti orang hidup. Larangan ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw. berikut
حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِىُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ سَعْدٍ - يَعْنِى ابْنَ سَعِيدٍ - عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا ».
Dari hadits di atas, jelas dikatakan bahwa kita dilarang menyakiti mayit. Karena menyakiti mayit sama saja dengan menyakiti orang yang masih hidup. Sebenarnya larangan ini berkenaan yang terjadi saat orang menggali kuburan, yakni ketika ia (penggali kubur) mendapati tulang-belulang mayat yang dikubur itu lalu ia memecahnya. Perbuatan yang demikian ini dianggap tidak senonoh meskipun hal itu dilakukan oleh orang yang telah meninggal. karena tulang mayat pun masih harus kita hormati. [4]
Pembahasan kali ini adalah bagaimana hukum membedah perut mayit hamil untuk mengeluarkan bayi yang ada dalam kadungannya. Maka pertanyaan yang muncul adalah, apakah sama hukum membedah perut mayit tersebut dengan hukum memecah tulang mayit? Untuk menyamakan hukum tersebut maka kita perlu mengetahui ‘illat yang ada pada larangan hadits di atas. ‘Illat dari larangan hadits di atas tidak lain adalah menyakiti mayit. Lalu bagaimana dengan hukum Autopsi untuk mneyelamatkan bayi dalam kandungannya itu? Apakah Autopsi itu juga termasuk menyakiti mayit sehingga hukumnya pun bias disamakan dengan hokum memecahkan tulang mayit? Jika kita lihat, manfaat dan kegunaan Autopsi sangat banyak diantaranya adalah: kepentingan penegakkan hukum; menyelamatkan janin yang masih hidup di dalam rahim mayat; untuk mengeluarkan benda yang berharga dari mayat (misalnya untuk mengambil barang curian yang ditelan), dan untuk keperluan penelitian ilmu kedokteran.
Ulama terdahulu berpendapat, Jika seorang wanita hamil meninggal dan di dalam perutnya terdapat bayi yang masih hidup maka haram hukumnya membedah perut wanita itu, akan tetapi dengan cara pengobatan dan memasukkan tangan untuk mengambil janin bayi jika masih bisa diharapkan untuk hidupnya. Jika terdapat halangan dalam melaksanakan hal itu maka mayat itu tidak dikubur dahulu hingga bayi yang di dalam perutnya itu mati. Jika sebagian tubuh bayi itu telah keluar dalam keadaan hidup maka untuk mengeluarkan bagian lainnya, boleh dengan cara membedah perut mayat jika diperlukan.[5] Pendapat ini didasarkan karena membedah perut mayit itu dianggap menyakiti mayit tersebut. Hal ini jelas berbeda dengan Autopsi, zaman ini ilmu kedokteran telah semakin canggih, di mana proses pembedahan perut atau sebagian tubuh lainnya tidak termasuk penyiksaan terhadap mayat. Bahkan membedah perut juga dilakukan pada orang yang masih hidup, seperti operasi Caesar yang dilakukan wanita yang akan melahirkan. Hal ini menunjukkan bahwa membedah perut tidak dapat dikatakan menyakiti mayit.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa membedah perut mayit dengan autopsy saat ini tidak dapat disamakan dengan hukum larangan memecahkan tulang mayit. Maka, jika ditinjau dari kerangka nalar ta’lily, kedua hukumnya pun akan berbeda karena ‘illat keduanya pun berbeda.
Sebagaimana hadits di atas, pada dasarnya memebedah perut mayit merupakan mafsadah yang harus dihindari. Dalam hal ini ulama’ berbeda pendapat. Imam Malik dan Ahmad mengatakan tidak boleh di bedah perut seorang wanita meskipun bayi yang ada dalam pertnya masih hidup namun dikeluarkan dengan cara diambil dari jalan farji oleh tenaga medis. Sejalan dengan pendapat Imam Malik, Imam Ibnu Qudamah berpendapat : Hal ini karena bayi itu belum pasti masih hidup dan memang biasanya tidak bisa hidup, maka tidak diperbolehkan melanggar suatu yang sudah jelas keharamannya demi sesuatu yang masih belum jelas. Berbeda dengan Imam Syafi’i, Ibnu Hazm dan sebagian ulama’ Malikiyah, mereka mengatakan bahwa dalam keadaan seperti itu dibedah perut ibu demi keselamatan bayi yang masih dalam kandungannya.
Memang pada dasarnya menyakiti mayit merupakan hal yang diharamkan jika memang tidak ada unsur kemaslahatan yang diperoleh. Namun jika membadah perut mayit itu bertentangan dengan kemaslahatan yang lebih kuat, maka mengambil kemaslahatan yang sudah pasti itulah yang diutamakan. Dengan kata lain, membedah perut mayit untuk menyelamatkan bayi yang masih hidup itu dibolehkan karena sudah jelas kemaslahatannya. Dimana jika perut wanita tidak disobek, maka bayi yang asalnya hidup akan segera mati. Bukankah hifdzun an-nafz merupakan salah satu dari lima maqosid asy-syari’ah yang harus dijaga?[6] dan bukankah menjaganya merupakan kemaslahatan dhoruri yang harus dilakukan? Selain itu, ulama juga sepekat bahwa orang hidup harus diperhatikan daripada orang yang mati.
Alasan kebolehan ini disandarkan pada besarnya kemaslahatan yang akan dicapai. Dimana jika ada kemaslahatan berhadapan dengan beberapa kerusakan, maka kemaslahatan yang paling besar harus lebih diutamakan dan kerusakan yang sifatnya kecil harus dilaksanakan. Kemaslahatan tidak membedah perut memang merupakan kemaslahatan yang seharusnya dicapai, namun kemaslahatan bayi juga merupakan kemaslahatan yang jauh lebih besar. Demikian juga, membedah perut mayit wanita hamil merupakan kerusakan, namun membiarkan bayi meninggal merupakan kerusakan yang lebih besar. [7] Dalam kaidah fiqh disebutkan اذا تعارض مفسدتان روعي اعظمها ضرارا باركب اخفهما  (jika ada dua mafsadah (kerusakan) maka yang dilakukan adalah mengambil kerusakan yang lebih kecil dan menghindari mafsadah yang lebih besar). Dengan kata lain, membadah perut wanita hamil harus dilakukan demi menghindari mafsadah yang lebih besar, yakni membiarkan bayi meninggal dalam perut. Dan jika kita lihat, perkembangan teknologi dewasa ini jauh berbeda dengan zaman nabi maupun zaman ulama’ salaf. Proses operasipun telah banyak dilakukan dikalangan kedoteran. Jika dahulu membedah perut itu merupakan suatu mafsadah/kerusakan, berbada dengan zaman sekarang dimana semua orang sepakat bahwa membedah perut bukanlah hal yang dianggap mafsadah. Bahkan hal ini juga banyak dilakukan orang-orang yang masih hidup. Bahkan orang hidup pun boleh melakukannya, misalnya bedah jantung, pedah peerut (Caesar), dll. Oleh karenanya, membedah perut sang ibu untuk menyelamatkan bayi bukanlah sebuah bentuk penghinaan terhadap mayat.
Pendapat ini juga diamini oleh Syaikh As-Sa’di, Ia membolehkan membedah perut mayit untuk menyelamatkan bayi hidup dalam perut wanita  berdasarkan kemaslahatan yang lebih besar, dan As-Sa’di juga menganggap dalam hal ini tidak ada unsur mafsadah (kerusakan) atau madhorot.  Begitu juga menurut ulama’ kontemporer abad 21, Yusuf Qordhowi, dalam hal ini tidak dianggap merusak martabat orang mati.
Dari berbagai pertimbangan di atas, makan hukum membedah perut mayit untuk menyelamatkan bayi hidup bukan sekedar diperbolehkan (mubah), namun hal ini telah mencapai tigkat dhoruri, yakni sebagai bentuk penjagaan jiwa (hidzun nafs) yang hukumnya wajib. Maka yang benar adalah pendapat yang mewajibkan pembedahan perut ibu jika para dokter menguatkan kemungkinan bayi itu bisa hidup selepas operasi bedah tersebut. Syaikh Ahmad Syakir dalam Ta’liq Al Muhalla berkata:“Adapun mengeluarkan bayi yang masih hidup dalam kandungan sang ibu maka hal ini wajib dilakukan. Adapun bagaimana caranya, hal itu terserah kepada para ahlinya baik seorang dokter maupun dukun bayi.”
D.     Kesimpulan
          Pada dasarnya hukum membedah mayit itu dilarang jika memang tidak ada keperluan yang mendesak. Membedah perut mayit untuk menyelamatkan bayi hidup merupakan kebutuhan yang amat mendesak (dhorurot), sehingga hukumnya pun bergeser dari haram menjadi mubah, الضرورة تبيح المحضوراة (dhorurat itu membolehkan yang dilarang).
          Ditinjau dari segi penyamaan ‘illat, ternyata antara memecahkan tulang mayat dengan autopsy berbeda. Autopsy tidak mengandung unsur menyakiti mayit sebagaimana ‘illat dilarangnya memecahkan tulang mayat. Sedangkan ditinjau dari unsure maslahah, memebedah membedah perut di sini merupakan kemaslahatan yang harus dicapai guna menyelamatkan bayi yang hidup dalam kandungan mayit tersebut. Dan Autposi yang dilakukan pada zaman sekarang tidak dapat dikatakan sebagai pelecehan atau perusakan terhadap mayat itu sendiri. Dari beberapa penjelasan di atas, hukum membedah perut mayit untuk menyelamatkan bayi hidup itu diwajibkan karena menyelamatkan nyawa itu merupakan dhoruri yang harus dilakukan.



[1] Dr. Badri Khaeruman, M.Ag,  Hukum islam dalam perubahan sosial,.
[2] Drs. Hasbi umar, Nalar fiqih kontemporer, cet. Ke-1 (jakarta; gaung persada press, 2007), hlm 112.
[3] Idem,
[4] Tanya jawab agama
[6] ada yang berpendapat maqoshid asy-syari’ah ada 6, dari 5 maqshod yang masyhur, ditambah satu maqsho lagi yakni kehormatan.
[7] Yusuf Qordhowi, Maqoshid Syari’ah, cet 1,hlm 251.

 
Template Indonesia | Goresan Tinta Malam
Aku cinta Indonesia