Sabtu, 19 Mei 2012
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Pada awalnya, dalam tingkat
keberagamaan penduduk dusun Tundan dan daerah-daerah sekitarnya termasuk
kategori abangan. Hali ini bisa dilihat dari kegiatan keagamaan yang telatif
amat sdikit bahkan mungkin bisa dikatakan hampir tidak ada (hanya diadakan
sekali-duakali), juga dilihat dari kondisi masjid saat itu yang terlalu kecil
jika dibandingkan dengan jimlah penduduk Tundan, bukan hanya itu, masjid saat
itu juga terkesan kumuh, gelap tak
terawat, sehingga masjid tundan tak layaknya masjid-masjid lainnya yang menjadi
sarana kegiaatan kaegamaan seperti sholat jama’ah, pengajian-pengajian, dll.
Seiring pindahnya kampus terpadu
UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) yang awalnya terletak di daerah wirobrpajan
pada tahun 2000 menjadi tahun bersejarah bagi dusun Tundan dan wilayah-wilayah
lain sekitar kampus, dimana saat itu para pendatang mulai menjejali daerah
sekitar baik itu anak kos atau para dosen. Dari para pendatang inilah Tundan
muali tercerahkan, masyarakat yang tingkat pendidikan dan keagamaannya biasa-biasa
saja atau bahkan dapat dikatakan kurang ini mulai terwarnai. Pak Gatot, salah
seorang dosen UMY yang merasa prihatin denangan pemandangan ini mencoba untuk
merubah kondisi masyarakat saat itu. pak Gatot mempelopori perbaikan masjid
dengan mendesign masjid selayak mungkin baik dari segi perluasan masjid dan
penerangannya. Dana perbaikan masjid diambil dari sumbangan masyarakat sekitar
atas dasar suka-rela yakni dengan membagi tabungan plastic yang dititipkan pada
warga yang pada waktu tertentu tabungaun itu diambil di rumah warga yang
kemudian dikumpulkan, dihitung tanpa menyebut nama atau list para penyumbang
dan besar nominal yang mereka berikan, dan hasilnya diumumkan pada warga
sekitar dan setelah diumumkan tabungan dikembalikan pada warga, dan begitu
seterusnya. Namun demikian, cara yang telah dilaksanakan pun tak lepas dari
bunga-bunga perdebatan masyarakat terutama panitia pendirian masjid. Tapi hal
ini tidak menyurutkan semangat para panitia, terutama pak Gatot sebagai
pengusul ide tabungan warga. Beliau tetap optimis akan pertolongan Allah meski
usaha yang dilkukan dianggap akan memperlambat proses pendirian masjid. Tabungan warga terus berlanjut dan janji
Allah pun segera tiba, tanpa harus diadakan permohonan dana untuk pembangunan
masjid, proses pembangunan masjid ini terdengar oleh para donatur hingga
pembangunan mesjid selesai. Seiring berjalannya waktu ke waktu, dakwah pun
diterima masyarakat Tundan dari kalangan pendatang yang ampu oleh dosen-dosen
UMY. Tak lepas dari metode da’wah bil-hal yang dengannya dapat ‘mengisi volume’
masjid. Yang makin lama para jama’ah makin meningkat meski masih beberapa shaf,
hany dengan hitungan beberapa tahun da’wah bil-hal hal ini tergolng cepat jika
dibandingkan dengan kondisi masyarakat sebelumya. Kegiatan dakwah pun mulai
diadakan, seperti halnya pengajian bapak-bapak, pengajian ibu-ibu, remaja, dan
pendidikan TPA. Berawal dari masyarakat yang nota benenya adalah masyarakat
abangan yang kemudian mendapat pencerahan dakwah, maka dalam hal paham
keagamaan pun masyarakat Tundan tidak dapat dikatakan sebagai paham NU
(Nahdatul Ulama’) maupun MD ( Muhammadiyah ), hanya saja dalam hal pengamalan
masyarakat lebih condong dengan pengamalan paham MD karena kebanyakan para Da’I
bersal dari dosen-dosen UMY yakni dari kalangan paham MD.
0 komentar:
Posting Komentar