Kamis, 10 Mei 2012
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Oleh; Siti Arifatun Naimah
A.
Kedudukan Sunnah Nabi dalam Islam
Al-qur’an al-karim adalah
sumber utama dalam islam, sedangkan sunnah nabi berkedudukan sebagai sumber ke
dua umat islam karena sunnah merupakan penjelas bagi al-qur’an (an-Nahl; 44).
Demikian pula nabi muhammad yang perkataan, perbuatan dan taqrirnya merupakan
penjelas bagi al-qur’an karena nabi adalah penafsir al-Qur’an. Menurut qardhawi, posisi sunnah
merupakan salah satu pemengang hukum setelah al-qur’an dan sunnah selalu
mengekor dibelakang al-qur’an. Para ahli hadis dan fiqih pun sepakat
menjadikannya sebagai sember hukum. Beliau juga menyinggung bagaimana sunnah
memiliki peran yang amat penting bagi para dai dan fuqoha’, bahkan beliau juga
menekankan pada umat islam untuk berpegang teguh pada al-qur’an dan sunnah. Saking pentingnya
peran sunnah dalam syari’at sampai-sampai dikatakan ”al-qur’an lebih
membutuhkan sunnah dari pada sunnah yang membutuhkan al-qur’an”. sunnah nabi mempunyai 3 karakteristik , yait
1.
komprehensif (manhaj syumul),
yakni mencakup segala dimensi kehidupan; 1)kehidupan sejak lahir
sampai matinya, 2) mencakup seluruh aspek muamalah, dan 3) mencakup dimensi
yang berkaitan dengan kedalaman kehidupan manusia, yaitu mencakup tubuh, akal
dan ruh, meliputi lahir batin, dsb. (an-nahl; 89)
2.
Seimbang (manhaj
mutawazzun), keseimbangan antara ruh
dan jasad, antara akal dan kalbu, antara dunia dan akhirat, antara teori dan
praktik, antara kebebasan dan tanggung jawab, dsb. (ar-rahman; 8-9)[1]
3.
Memudahkan (manhaj
muyassar). dan cirri-ciri manhaj ini
adalah menggunakan prinsip memudahkan sebegaiman hadis nabi yang drirwayatkan
dari ibnu abbas.[2] (al-maidah;
5), (an-nisa; 28). [3]
Dengan ketiga karakteristik di atas-lah kita dapat memahami
sunnah dengan utuh dan baik. Di samping tiga karakteristik di atas, ada tiga
hal yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, 1) berlebihan dalam agama/bersikap ekstrim [4], misalnya sampai mengharamkan hal-hal yang dihalalkan
Allah. 2) menganut orang-orang
batil (intihal al-mubthilin),[5] mereka melamahkan penyandaran terhadap al-qur’an. 3)
penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil
al-jahilin) yang bisa merusak hakikat islam dimana mereka menolak
dalil muhkamat, dan mengikuti yang mutasayabihât serta mencari-cari fitnah dan
pena’wilan sunnah. Oleh karenaya, untuk memahami sunnah kita harus bisa
memahaminya dengan sikap yang moderat (wasathiyah),
yaitu tidak bersikap berlebihan atau ekstrim dalam memahami dalil (baca;
sunnah), mengekor apada orang batil, dan tidak mena’wilkan sebagaimana ta’wil
orang-orang jahil.
B.
Jawaban terhadap Ingkar As-Sunnah
Ingkar as-sunah adalah sebutan bagi orang-orang atau
golongan yang menolak keabsahan hadis-hadis nabi, dengan kata lain mereka
merasa cukup hanya dengan memahami al-qu’an saja. Sikap mereka ini
berlandaskan;
1.
Isi al-qur’an sudah rinci dan mencakup semua hal
sebagaimana firman Allah dalam surat Yusuf; 111 dan an-Nahl; 89
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ
الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى
لِلْمُسْلِمِينَ…
“…Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al
Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (an-nahl 89)
2.
Allah menjamin al-qur’an, dan tidak menjamin hadis.
3.
Bercampur baurnya hadis shahih dan dhaif.
4.
Ulama’ hanya memperhatikan sanad.
Bantahan terhadap paham ingkar as-sunnah
Tak diragukan
lagi, bahwa sunnah adalah penjelas kandungan isi al-qur’an. Sunnah-lah yang
merinci hal-hal yang mujmal, mentakhshis (menghususkan) yang umum, dan
mentaqyid yang mutlaq. Yang dimaksud dengan ”segala sesuatu” dalam an-Nahl 89
itu adalah yang bekaitan dengan prinsip dan yang menjadi landasan dasar aqidah
dan syari’ah. Di antara prinsipnya adalah mengakui Rasulullah sebagai penjelas
al-qur’an. Tanpa sunnah kita tidak akan mengetahui
begaimana tata cara sholat, haji, zakat, puasa, dll. Pernyataan ini sesuai
dengan firman-Nya;
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ
الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ
“keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan”
(an-nahl 44)
Al-qur’an juga memerintahkan
kita menaati rasul sebagaimana kita menaati Allah. Seperti Firman-Nya dalam
an-Nur 54 dan an-Nisa’ 59 yang berbunyi;
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Ulama’
sepakat bahwa yang dimaksud dengan mengembalikan perkara pada Allah adalah
al-qur’an dan mengembalikan perkara pada rasul maksudnya adalah hadis nabi
(sunnah). Adapun alasan mereka yang mengatakan bahwa sunnah tidak dijaga Allah,
hal ini tidak dapat diterima. Jaminan Allah memelihara al-Qur’an mencakup
jaminannya dalam menjaga sunnah secara umum karena sesungguhnya ia merupakan
penjelas bagi al-qur’an secara teoris maupun praktis. Penjagaan terhadap yang
dijelaskan (al-Qur’an) berarti mencakup penjagaan yang menjelaskan (sunnah
nabi). Hal ini seperti yang dipaparkan as-Syatibi dalam muwafaqatnya. Allah
berfirman
ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ
“Kemudian,
sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (al-Qiyamah;19)
Adanya penolakan terhadap hadis ini dikarenakan
buruknya pemahaman mereka terhadap hadis itu sendiri. Di sisi lain, ada pula
orang yang menolak hadis shahih, padahal hal ini dikarenakan mereka
tergesa-gesa saat membaca hadis sehingga mereka salah memahami hadis dan
buru-buru menolak hadis yang dianggapnya bermasalah, misalnya dianggap
bertentangan dengan al-qur’an.[6]
Ingkar sunnah mengatakan, hadis shahih dan
dhaif tercampur baur tidak bisa menjadi alasan. Para ulama’ telah menentukan
kaidah-kaidah serat syarat-syarat tentang keshahihan hadis. Adanya hadis dhaif
tidak bisa menafikan/membuang seluruh hadis ke tempat sampah. Ibaratnya seperti
uang palsu, apakah orang yang berakal sehat akan mengatakan buang saja semua
uang termasuk yang asli dan menganggapnya tidak bernilai lagi karena uang palsu
telah banyak beredar?
Adapun tuduhan mereka para ulama’ hanya
memeperhatikan sanad tidak sesuia dengan keilmuan hadis. Kritik matan justru
lebih dulu ada dari kritik sanad. Kritik matan telah ada pada masa sahabat,
seperti yang dilakukan ‘Aisyah terhadap 8 hadis abu hurairah, dan kritik-kritik
sahabat pada sahabat lainnya. Sedang krirtik matan baru diperdalam dan
dipertanyakan sejak banyak terjadi fitnah pada zaman Usman dan Ali ra.
C.
Prinsip-Prinsip Dalam Berinteraksi dengan As-Sunnah
Prinsip-prinsip yang harus ada untuk memahami sunnah agar
tidak terjadi kesalah fahaman adalah sebagai berikut:
1.
Mencari kepastian menganai ketetapan dan ke-shahih-an
sesuai dengan neraca ilmiah yang telah ditetapkan para imam (ulama hadis) yang meliputi
sanad dan matannya, baik yang berupa ucapan Nabi saw., perbuatannya, ataupun
persetujuannya.
2.
Dapat memahami sunnah dengan baik, sesuai dengan pengertian
bahasa (Arab) dan sesuai konteks hadis serta mengatahui sababul-wurud nya.
3.
Hadisnya tidak bertentangan dengan nash yang lebih kuat
darinya, dan tidak bertentangan dengan hikmah tasyri’, atau tujuan umum
syariat yang di anggap qath’iy.
D. Metode Memahami Sunnah
Metode memahami sunnah
merupakan pembahasan inti dari buku kaifa nata’ammal ma’a sunnah yang
ditulisnya. Dalam buku tersebut, Qardhawi menyebutkan delapan metode dalam
memahami sunnah agar tidak terjerumus pada pemahaman yang salah. Delapan metode tersebut adalah:
1.
Memahami
as-Sunnah sesuai petunjuk al-Quran.
2.
Menghimpun
hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama.
3.
Penggabungan
atau pentarjihan antara hadis-hadis yang (nampakna) bertentangan.
4.
Memahami
hadis dengan mempertimbangkan latar belakangnya, situasi dan kondisinya ketika
diucapkan, serta tujuannya.
5.
Memebedakan
antara sarana yang berubah-ubah dan sasaran yang tetap.
6.
Membedakan
antara ungkapan yang bersifat majaz dalam memahami hadis.
7.
Memebedakan
antara alam gaib dan alam kasatmata.
8.
Memastikan
makna dan konotasi kata-kata dalam hadis.
E.
Penggunaan Hadis Dhaif dalam Targhib Wa at-Tarhib
Ulama’ berbeda pendapat mengenai penggunaan hadis dhaif
dalam targhib wa tarhib . namun kebanyakan ulama membolehkannya selama tidak
menyangkut hal yang prinsip dan tidak terkain halal-haram. Dalam memandang
hadis dhaif ini, Qardhawi ada beberapa poin yang ditekankan Qardhawi;
Pertama,
kita sudah mempunyai hadis shahih dan hasan, tanpa memerlukan hadis dhaif.
Kedua,
jika hadis dhaif tersebut dijadikan informasi, maka penyampainya harus
menunjukkan kelemahan hadis tersebut dan jangan sampai mengatakan hadis
tersebut dari nabi.
Ketiga,
orang-orang yang memperbolehkan periwayatannya mempunyai 3 syarat; 1) hadisnya
tidak terlalu dhaif/kedhaifannya tidak terlalu berat, 2)hadisnya berada dibawah
cakupan syari’at, 3)berhati-hati dalam meiwayatkannya.
Bersikap tasahul(memperlonggar syarat)
dalam meriwayatkan hadis dhaif dalam targib wa at-tarhib bukan berati kita
boleh menjadikannya sebagai dalil penetapan hukum atau motivasi dalam beragama.
Menetapkan hukum harus dengan hadis shahih, sedang dalam targib wa tarhib boleh
dengan hadis dhaif yang tidak terlalu
lemah.
[1] Misalnya ketika
dharurat, dibolehkannya mengkonsumsi makanan yang diharamkan.
[2] Telah diriwayatkan dari Ibn Abbas, dari Nabi Saw
:“Jangan sekali-kali kamu sekalian bersikap berlebihan (ghuluw) dalam agama. Sebab,
sikap seperti itulah yang telah membinasakan orang-orang dahulu sebelum kamu”.
[3] Agama islam adalah
agama yang mudah, misalnya bolehnya mengganti wudlu dengan tamyammum, bolehnya
menjama’ sholat, bolehnya berbuka bagi yang sakit, dll
[4] Dalam buku maqashid
syari’ah, qordhawi menyebutkan kaum dhahiriyah.
[5] Yaitu pemalsuan terhadap
ajaran-ajaran Islam, yaitu dengan membuat-buat berbagai macam bid’ah yang jelas
bertentangan dengan akidah dan syari’ah;
[6] Misalnya hadis
‘aisyah yang menceritakan nabi menggaulinya diatas kain (fauqal izâr), hadis
ini dianggap bertentangan dengan surat al-baqarah 222 “Mereka
bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu
kotoran." Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci”. Hadis ‘aisyah dianggap bertentangan karena ayat melarang suami mendekati
istri saat haid. Padahal yang dimaksud ayat tersebut adalah larangan jima’.
0 komentar:
Posting Komentar