Kamis, 10 Mei 2012

As-Sunnah di Mata Qardhawi

Oleh; Siti Arifatun Naimah
A.    Kedudukan Sunnah Nabi dalam Islam
Al-qur’an al-karim adalah sumber utama dalam islam, sedangkan sunnah nabi berkedudukan sebagai sumber ke dua umat islam karena sunnah merupakan penjelas bagi al-qur’an (an-Nahl; 44). Demikian pula nabi muhammad yang perkataan, perbuatan dan taqrirnya merupakan penjelas bagi al-qur’an karena nabi adalah penafsir al-Qur’an. Menurut qardhawi, posisi sunnah merupakan salah satu pemengang hukum setelah al-qur’an dan sunnah selalu mengekor dibelakang al-qur’an. Para ahli hadis dan fiqih pun sepakat menjadikannya sebagai sember hukum. Beliau juga menyinggung bagaimana sunnah memiliki peran yang amat penting bagi para dai dan fuqoha’, bahkan beliau juga menekankan pada umat islam untuk berpegang teguh pada al-qur’an dan sunnah. Saking pentingnya peran sunnah dalam syari’at sampai-sampai dikatakan ”al-qur’an lebih membutuhkan sunnah dari pada sunnah yang membutuhkan al-qur’an”. sunnah  nabi  mempunyai 3 karakteristik  , yait 
1.      komprehensif (manhaj syumul), yakni mencakup segala dimensi kehidupan; 1)kehidupan sejak lahir sampai matinya, 2) mencakup seluruh aspek muamalah, dan 3) mencakup dimensi yang berkaitan dengan kedalaman kehidupan manusia, yaitu mencakup tubuh, akal dan ruh, meliputi lahir batin, dsb. (an-nahl; 89)
2.      Seimbang (manhaj mutawazzun), keseimbangan antara ruh dan jasad, antara akal dan kalbu, antara dunia dan akhirat, antara teori dan praktik, antara kebebasan dan tanggung jawab, dsb. (ar-rahman; 8-9)[1]
3.      Memudahkan (manhaj muyassar). dan cirri-ciri manhaj ini adalah menggunakan prinsip memudahkan sebegaiman hadis nabi yang drirwayatkan dari ibnu abbas.[2] (al-maidah; 5), (an-nisa; 28). [3]
Dengan ketiga karakteristik di atas-lah kita dapat memahami sunnah dengan utuh dan baik. Di samping tiga karakteristik di atas, ada tiga hal yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, 1) berlebihan dalam agama/bersikap ekstrim [4], misalnya sampai mengharamkan hal-hal yang dihalalkan Allah. 2) menganut orang-orang batil (intihal al-mubthilin),[5] mereka melamahkan penyandaran terhadap al-qur’an. 3) penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin) yang bisa merusak hakikat islam dimana mereka menolak dalil muhkamat, dan mengikuti yang mutasayabihât serta mencari-cari fitnah dan pena’wilan sunnah. Oleh karenaya, untuk memahami sunnah kita harus bisa memahaminya dengan sikap yang moderat (wasathiyah), yaitu tidak bersikap berlebihan atau ekstrim dalam memahami dalil (baca; sunnah), mengekor apada orang batil, dan tidak mena’wilkan sebagaimana ta’wil orang-orang  jahil.
B.     Jawaban terhadap Ingkar As-Sunnah
Ingkar as-sunah adalah sebutan bagi orang-orang atau golongan yang menolak keabsahan hadis-hadis nabi, dengan kata lain mereka merasa cukup hanya dengan memahami al-qu’an saja. Sikap mereka ini berlandaskan;
1.      Isi al-qur’an sudah rinci dan mencakup semua hal sebagaimana firman Allah dalam surat Yusuf; 111 dan an-Nahl; 89
 وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“…Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (an-nahl 89)
2.                           Allah menjamin al-qur’an, dan tidak menjamin hadis.
3.                           Bercampur baurnya hadis shahih dan dhaif.
4.                           Ulama’ hanya memperhatikan sanad.
Bantahan terhadap paham ingkar as-sunnah
     Tak diragukan lagi, bahwa sunnah adalah penjelas kandungan isi al-qur’an. Sunnah-lah yang merinci hal-hal yang mujmal, mentakhshis (menghususkan) yang umum, dan mentaqyid yang mutlaq. Yang dimaksud dengan ”segala sesuatu” dalam an-Nahl 89 itu adalah yang bekaitan dengan prinsip dan yang menjadi landasan dasar aqidah dan syari’ah. Di antara prinsipnya adalah mengakui Rasulullah sebagai penjelas al-qur’an.    Tanpa sunnah kita tidak akan mengetahui begaimana tata cara sholat, haji, zakat, puasa, dll. Pernyataan ini sesuai dengan firman-Nya;
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (an-nahl 44)
                 Al-qur’an juga memerintahkan kita menaati rasul sebagaimana kita menaati Allah. Seperti Firman-Nya dalam an-Nur 54 dan an-Nisa’ 59 yang berbunyi;
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” 
                 Ulama’ sepakat bahwa yang dimaksud dengan mengembalikan perkara pada Allah adalah al-qur’an dan mengembalikan perkara pada rasul maksudnya adalah hadis nabi (sunnah). Adapun alasan mereka yang mengatakan bahwa sunnah tidak dijaga Allah, hal ini tidak dapat diterima. Jaminan Allah memelihara al-Qur’an mencakup jaminannya dalam menjaga sunnah secara umum karena sesungguhnya ia merupakan penjelas bagi al-qur’an secara teoris maupun praktis. Penjagaan terhadap yang dijelaskan (al-Qur’an) berarti mencakup penjagaan yang menjelaskan (sunnah nabi). Hal ini seperti yang dipaparkan as-Syatibi dalam muwafaqatnya. Allah berfirman
ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ
“Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (al-Qiyamah;19)
Adanya penolakan terhadap hadis ini dikarenakan buruknya pemahaman mereka terhadap hadis itu sendiri. Di sisi lain, ada pula orang yang menolak hadis shahih, padahal hal ini dikarenakan mereka tergesa-gesa saat membaca hadis sehingga mereka salah memahami hadis dan buru-buru menolak hadis yang dianggapnya bermasalah, misalnya dianggap bertentangan dengan al-qur’an.[6]
Ingkar sunnah mengatakan, hadis shahih dan dhaif tercampur baur tidak bisa menjadi alasan. Para ulama’ telah menentukan kaidah-kaidah serat syarat-syarat tentang keshahihan hadis. Adanya hadis dhaif tidak bisa menafikan/membuang seluruh hadis ke tempat sampah. Ibaratnya seperti uang palsu, apakah orang yang berakal sehat akan mengatakan buang saja semua uang termasuk yang asli dan menganggapnya tidak bernilai lagi karena uang palsu telah banyak beredar?
Adapun tuduhan mereka para ulama’ hanya memeperhatikan sanad tidak sesuia dengan keilmuan hadis. Kritik matan justru lebih dulu ada dari kritik sanad. Kritik matan telah ada pada masa sahabat, seperti yang dilakukan ‘Aisyah terhadap 8 hadis abu hurairah, dan kritik-kritik sahabat pada sahabat lainnya. Sedang krirtik matan baru diperdalam dan dipertanyakan sejak banyak terjadi fitnah pada zaman Usman dan Ali ra.
    
C.    Prinsip-Prinsip Dalam Berinteraksi dengan As-Sunnah
Prinsip-prinsip yang harus ada untuk memahami sunnah agar tidak terjadi kesalah fahaman adalah sebagai berikut:
1.      Mencari kepastian menganai ketetapan dan ke-shahih-an sesuai dengan neraca ilmiah yang telah ditetapkan para imam (ulama hadis) yang meliputi sanad dan matannya, baik yang berupa ucapan Nabi saw., perbuatannya, ataupun persetujuannya.
2.      Dapat memahami sunnah dengan baik, sesuai dengan pengertian bahasa (Arab) dan sesuai konteks hadis serta mengatahui sababul-wurud nya.
3.      Hadisnya tidak bertentangan dengan nash yang lebih kuat darinya, dan tidak bertentangan dengan hikmah tasyri’, atau tujuan umum syariat yang di anggap qath’iy.

D.       Metode Memahami Sunnah
Metode memahami sunnah merupakan pembahasan inti dari buku kaifa nata’ammal ma’a sunnah yang ditulisnya. Dalam buku tersebut, Qardhawi menyebutkan delapan metode dalam memahami sunnah agar tidak terjerumus pada pemahaman yang salah. Delapan metode tersebut adalah:
1.         Memahami as-Sunnah sesuai petunjuk al-Quran.
2.         Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama.
3.         Penggabungan atau pentarjihan antara hadis-hadis yang (nampakna) bertentangan.
4.         Memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakangnya, situasi dan kondisinya ketika diucapkan, serta tujuannya.
5.         Memebedakan antara sarana yang berubah-ubah dan sasaran yang tetap.
6.         Membedakan antara ungkapan yang bersifat majaz dalam memahami hadis.
7.         Memebedakan antara alam gaib dan alam kasatmata.
8.         Memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadis.

E.        Penggunaan Hadis Dhaif dalam Targhib Wa at-Tarhib
Ulama’ berbeda pendapat mengenai penggunaan hadis dhaif dalam targhib wa tarhib . namun kebanyakan ulama membolehkannya selama tidak menyangkut hal yang prinsip dan tidak terkain halal-haram. Dalam memandang hadis dhaif ini, Qardhawi ada beberapa poin yang ditekankan Qardhawi;
Pertama, kita sudah mempunyai hadis shahih dan hasan, tanpa memerlukan hadis dhaif.
Kedua, jika hadis dhaif tersebut dijadikan informasi, maka penyampainya harus menunjukkan kelemahan hadis tersebut dan jangan sampai mengatakan hadis tersebut dari nabi.
Ketiga, orang-orang yang memperbolehkan periwayatannya mempunyai 3 syarat; 1) hadisnya tidak terlalu dhaif/kedhaifannya tidak terlalu berat, 2)hadisnya berada dibawah cakupan syari’at, 3)berhati-hati dalam meiwayatkannya.
      Bersikap tasahul(memperlonggar syarat) dalam meriwayatkan hadis dhaif dalam targib wa at-tarhib bukan berati kita boleh menjadikannya sebagai dalil penetapan hukum atau motivasi dalam beragama. Menetapkan hukum harus dengan hadis shahih, sedang dalam targib wa tarhib boleh dengan hadis dhaif  yang tidak terlalu lemah.



[1] Misalnya ketika dharurat, dibolehkannya mengkonsumsi makanan yang diharamkan.
[2] Telah diriwayatkan dari Ibn Abbas, dari Nabi Saw :“Jangan sekali-kali kamu sekalian bersikap berlebihan (ghuluw) dalam agama. Sebab, sikap seperti itulah yang telah membinasakan orang-orang dahulu sebelum kamu”.
[3] Agama islam adalah agama yang mudah, misalnya bolehnya mengganti wudlu dengan tamyammum, bolehnya menjama’ sholat, bolehnya berbuka bagi yang sakit, dll
[4] Dalam buku maqashid syari’ah, qordhawi menyebutkan kaum dhahiriyah.
[5] Yaitu pemalsuan terhadap ajaran-ajaran Islam, yaitu dengan membuat-buat berbagai macam bid’ah yang jelas bertentangan dengan akidah dan syari’ah;
[6] Misalnya hadis ‘aisyah yang menceritakan nabi menggaulinya diatas kain (fauqal izâr), hadis ini dianggap bertentangan dengan surat al-baqarah 222 “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci”. Hadis ‘aisyah dianggap bertentangan karena ayat melarang suami mendekati istri saat haid. Padahal yang dimaksud ayat tersebut adalah larangan jima’.

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

About

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Pages - Menu

Kamis, 10 Mei 2012

As-Sunnah di Mata Qardhawi

Oleh; Siti Arifatun Naimah
A.    Kedudukan Sunnah Nabi dalam Islam
Al-qur’an al-karim adalah sumber utama dalam islam, sedangkan sunnah nabi berkedudukan sebagai sumber ke dua umat islam karena sunnah merupakan penjelas bagi al-qur’an (an-Nahl; 44). Demikian pula nabi muhammad yang perkataan, perbuatan dan taqrirnya merupakan penjelas bagi al-qur’an karena nabi adalah penafsir al-Qur’an. Menurut qardhawi, posisi sunnah merupakan salah satu pemengang hukum setelah al-qur’an dan sunnah selalu mengekor dibelakang al-qur’an. Para ahli hadis dan fiqih pun sepakat menjadikannya sebagai sember hukum. Beliau juga menyinggung bagaimana sunnah memiliki peran yang amat penting bagi para dai dan fuqoha’, bahkan beliau juga menekankan pada umat islam untuk berpegang teguh pada al-qur’an dan sunnah. Saking pentingnya peran sunnah dalam syari’at sampai-sampai dikatakan ”al-qur’an lebih membutuhkan sunnah dari pada sunnah yang membutuhkan al-qur’an”. sunnah  nabi  mempunyai 3 karakteristik  , yait 
1.      komprehensif (manhaj syumul), yakni mencakup segala dimensi kehidupan; 1)kehidupan sejak lahir sampai matinya, 2) mencakup seluruh aspek muamalah, dan 3) mencakup dimensi yang berkaitan dengan kedalaman kehidupan manusia, yaitu mencakup tubuh, akal dan ruh, meliputi lahir batin, dsb. (an-nahl; 89)
2.      Seimbang (manhaj mutawazzun), keseimbangan antara ruh dan jasad, antara akal dan kalbu, antara dunia dan akhirat, antara teori dan praktik, antara kebebasan dan tanggung jawab, dsb. (ar-rahman; 8-9)[1]
3.      Memudahkan (manhaj muyassar). dan cirri-ciri manhaj ini adalah menggunakan prinsip memudahkan sebegaiman hadis nabi yang drirwayatkan dari ibnu abbas.[2] (al-maidah; 5), (an-nisa; 28). [3]
Dengan ketiga karakteristik di atas-lah kita dapat memahami sunnah dengan utuh dan baik. Di samping tiga karakteristik di atas, ada tiga hal yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, 1) berlebihan dalam agama/bersikap ekstrim [4], misalnya sampai mengharamkan hal-hal yang dihalalkan Allah. 2) menganut orang-orang batil (intihal al-mubthilin),[5] mereka melamahkan penyandaran terhadap al-qur’an. 3) penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin) yang bisa merusak hakikat islam dimana mereka menolak dalil muhkamat, dan mengikuti yang mutasayabihât serta mencari-cari fitnah dan pena’wilan sunnah. Oleh karenaya, untuk memahami sunnah kita harus bisa memahaminya dengan sikap yang moderat (wasathiyah), yaitu tidak bersikap berlebihan atau ekstrim dalam memahami dalil (baca; sunnah), mengekor apada orang batil, dan tidak mena’wilkan sebagaimana ta’wil orang-orang  jahil.
B.     Jawaban terhadap Ingkar As-Sunnah
Ingkar as-sunah adalah sebutan bagi orang-orang atau golongan yang menolak keabsahan hadis-hadis nabi, dengan kata lain mereka merasa cukup hanya dengan memahami al-qu’an saja. Sikap mereka ini berlandaskan;
1.      Isi al-qur’an sudah rinci dan mencakup semua hal sebagaimana firman Allah dalam surat Yusuf; 111 dan an-Nahl; 89
 وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“…Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (an-nahl 89)
2.                           Allah menjamin al-qur’an, dan tidak menjamin hadis.
3.                           Bercampur baurnya hadis shahih dan dhaif.
4.                           Ulama’ hanya memperhatikan sanad.
Bantahan terhadap paham ingkar as-sunnah
     Tak diragukan lagi, bahwa sunnah adalah penjelas kandungan isi al-qur’an. Sunnah-lah yang merinci hal-hal yang mujmal, mentakhshis (menghususkan) yang umum, dan mentaqyid yang mutlaq. Yang dimaksud dengan ”segala sesuatu” dalam an-Nahl 89 itu adalah yang bekaitan dengan prinsip dan yang menjadi landasan dasar aqidah dan syari’ah. Di antara prinsipnya adalah mengakui Rasulullah sebagai penjelas al-qur’an.    Tanpa sunnah kita tidak akan mengetahui begaimana tata cara sholat, haji, zakat, puasa, dll. Pernyataan ini sesuai dengan firman-Nya;
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (an-nahl 44)
                 Al-qur’an juga memerintahkan kita menaati rasul sebagaimana kita menaati Allah. Seperti Firman-Nya dalam an-Nur 54 dan an-Nisa’ 59 yang berbunyi;
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” 
                 Ulama’ sepakat bahwa yang dimaksud dengan mengembalikan perkara pada Allah adalah al-qur’an dan mengembalikan perkara pada rasul maksudnya adalah hadis nabi (sunnah). Adapun alasan mereka yang mengatakan bahwa sunnah tidak dijaga Allah, hal ini tidak dapat diterima. Jaminan Allah memelihara al-Qur’an mencakup jaminannya dalam menjaga sunnah secara umum karena sesungguhnya ia merupakan penjelas bagi al-qur’an secara teoris maupun praktis. Penjagaan terhadap yang dijelaskan (al-Qur’an) berarti mencakup penjagaan yang menjelaskan (sunnah nabi). Hal ini seperti yang dipaparkan as-Syatibi dalam muwafaqatnya. Allah berfirman
ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ
“Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (al-Qiyamah;19)
Adanya penolakan terhadap hadis ini dikarenakan buruknya pemahaman mereka terhadap hadis itu sendiri. Di sisi lain, ada pula orang yang menolak hadis shahih, padahal hal ini dikarenakan mereka tergesa-gesa saat membaca hadis sehingga mereka salah memahami hadis dan buru-buru menolak hadis yang dianggapnya bermasalah, misalnya dianggap bertentangan dengan al-qur’an.[6]
Ingkar sunnah mengatakan, hadis shahih dan dhaif tercampur baur tidak bisa menjadi alasan. Para ulama’ telah menentukan kaidah-kaidah serat syarat-syarat tentang keshahihan hadis. Adanya hadis dhaif tidak bisa menafikan/membuang seluruh hadis ke tempat sampah. Ibaratnya seperti uang palsu, apakah orang yang berakal sehat akan mengatakan buang saja semua uang termasuk yang asli dan menganggapnya tidak bernilai lagi karena uang palsu telah banyak beredar?
Adapun tuduhan mereka para ulama’ hanya memeperhatikan sanad tidak sesuia dengan keilmuan hadis. Kritik matan justru lebih dulu ada dari kritik sanad. Kritik matan telah ada pada masa sahabat, seperti yang dilakukan ‘Aisyah terhadap 8 hadis abu hurairah, dan kritik-kritik sahabat pada sahabat lainnya. Sedang krirtik matan baru diperdalam dan dipertanyakan sejak banyak terjadi fitnah pada zaman Usman dan Ali ra.
    
C.    Prinsip-Prinsip Dalam Berinteraksi dengan As-Sunnah
Prinsip-prinsip yang harus ada untuk memahami sunnah agar tidak terjadi kesalah fahaman adalah sebagai berikut:
1.      Mencari kepastian menganai ketetapan dan ke-shahih-an sesuai dengan neraca ilmiah yang telah ditetapkan para imam (ulama hadis) yang meliputi sanad dan matannya, baik yang berupa ucapan Nabi saw., perbuatannya, ataupun persetujuannya.
2.      Dapat memahami sunnah dengan baik, sesuai dengan pengertian bahasa (Arab) dan sesuai konteks hadis serta mengatahui sababul-wurud nya.
3.      Hadisnya tidak bertentangan dengan nash yang lebih kuat darinya, dan tidak bertentangan dengan hikmah tasyri’, atau tujuan umum syariat yang di anggap qath’iy.

D.       Metode Memahami Sunnah
Metode memahami sunnah merupakan pembahasan inti dari buku kaifa nata’ammal ma’a sunnah yang ditulisnya. Dalam buku tersebut, Qardhawi menyebutkan delapan metode dalam memahami sunnah agar tidak terjerumus pada pemahaman yang salah. Delapan metode tersebut adalah:
1.         Memahami as-Sunnah sesuai petunjuk al-Quran.
2.         Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama.
3.         Penggabungan atau pentarjihan antara hadis-hadis yang (nampakna) bertentangan.
4.         Memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakangnya, situasi dan kondisinya ketika diucapkan, serta tujuannya.
5.         Memebedakan antara sarana yang berubah-ubah dan sasaran yang tetap.
6.         Membedakan antara ungkapan yang bersifat majaz dalam memahami hadis.
7.         Memebedakan antara alam gaib dan alam kasatmata.
8.         Memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadis.

E.        Penggunaan Hadis Dhaif dalam Targhib Wa at-Tarhib
Ulama’ berbeda pendapat mengenai penggunaan hadis dhaif dalam targhib wa tarhib . namun kebanyakan ulama membolehkannya selama tidak menyangkut hal yang prinsip dan tidak terkain halal-haram. Dalam memandang hadis dhaif ini, Qardhawi ada beberapa poin yang ditekankan Qardhawi;
Pertama, kita sudah mempunyai hadis shahih dan hasan, tanpa memerlukan hadis dhaif.
Kedua, jika hadis dhaif tersebut dijadikan informasi, maka penyampainya harus menunjukkan kelemahan hadis tersebut dan jangan sampai mengatakan hadis tersebut dari nabi.
Ketiga, orang-orang yang memperbolehkan periwayatannya mempunyai 3 syarat; 1) hadisnya tidak terlalu dhaif/kedhaifannya tidak terlalu berat, 2)hadisnya berada dibawah cakupan syari’at, 3)berhati-hati dalam meiwayatkannya.
      Bersikap tasahul(memperlonggar syarat) dalam meriwayatkan hadis dhaif dalam targib wa at-tarhib bukan berati kita boleh menjadikannya sebagai dalil penetapan hukum atau motivasi dalam beragama. Menetapkan hukum harus dengan hadis shahih, sedang dalam targib wa tarhib boleh dengan hadis dhaif  yang tidak terlalu lemah.



[1] Misalnya ketika dharurat, dibolehkannya mengkonsumsi makanan yang diharamkan.
[2] Telah diriwayatkan dari Ibn Abbas, dari Nabi Saw :“Jangan sekali-kali kamu sekalian bersikap berlebihan (ghuluw) dalam agama. Sebab, sikap seperti itulah yang telah membinasakan orang-orang dahulu sebelum kamu”.
[3] Agama islam adalah agama yang mudah, misalnya bolehnya mengganti wudlu dengan tamyammum, bolehnya menjama’ sholat, bolehnya berbuka bagi yang sakit, dll
[4] Dalam buku maqashid syari’ah, qordhawi menyebutkan kaum dhahiriyah.
[5] Yaitu pemalsuan terhadap ajaran-ajaran Islam, yaitu dengan membuat-buat berbagai macam bid’ah yang jelas bertentangan dengan akidah dan syari’ah;
[6] Misalnya hadis ‘aisyah yang menceritakan nabi menggaulinya diatas kain (fauqal izâr), hadis ini dianggap bertentangan dengan surat al-baqarah 222 “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci”. Hadis ‘aisyah dianggap bertentangan karena ayat melarang suami mendekati istri saat haid. Padahal yang dimaksud ayat tersebut adalah larangan jima’.

 
Template Indonesia | Goresan Tinta Malam
Aku cinta Indonesia