Jumat, 15 Juni 2012

Analisis 'Illat Safar


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Syari’at Islam sebagaimana tertuang dalam al-qur’an dan as-sunnah yang saat itu ‘ditaqdirkan’ turun di jazirah Arab, terkadang menimbulkan pertanyaan, apakah teks/nash yang tercantum itu steril dari kondisi saat turunnya nash dan nilai-nilai budaya lokal ataukah ada daya tarik menarik antara syari’at dengan budaya setempat? Atau Islam sedikit menarik ulur budaya-budaya lokal yang kemudian disesuaikan dengan Islam itu sendiri, ataukah antara keduanya berada dalam ruang terpisah sehingga penggunaan syari’at dapat kita ‘comot’ tanpa batas?
Perbincangan Islam Versus budaya[1] agaknya telah menjadi buah bibir masyarakat utamanya para pemikir. Pembacaan sosio-historis terhadap dinamika perkembangan fikh sangatlah penting, karena hubungan fikh dan realitas sosial bersifat saling terkait.[2] Oleh karenya, perkembangan zaman seolah menuntut teks yang tertera dalam nash tidak dapat ‘dicomot’ langsung dengan alasan perbedaan situasi dan kondisi pada masa Nabi  saw dengan kondisi saat ini. Sama halnya mengenai penentuan ‘illat safar, apakah ‘illatnya masyaqqoh (kesulitan) dengan alasan perbedaan zaman Nabi dengan zaman sekarang dimana kemajuan teknologi semakin pesat, kendaraan telah banyak tersedia dengan kecepatan dan kenyamanan yang tak lagi diragukan sehingga safar yang dilakukan Nabi dahulu dianggap tidak lagi bermasyaqqoh di masa ini.
Perbandingan perjalanan Makkah-Madinah yang dulunya menggunakan unta membuat perjalanan ditempuh dengan waktu yang tidak dapat dikatan sebentar. Belum lagi perjalanan yang ditempuh melawati  padang pasir dengan terik matahari yang menyengat di siang hari dan dingin yang mencekam di malam hari sehingga dalam perjalanan Makkah-Madinah akan sangat memungkinkan musafir mengalami masyaqqoh.
Berbeda dengan dua abad terakhir ini kendaraan sudah sangat beragam dan perjalanan dapat ditempuh dengan waktu yang relatif singkat. Kendaraan yang digunakan juga tersedia berbagai fasilitas yang memanjakan musafir, misalnya fasilitas AC yang menjadikan gurun pasir dan panasnya metahari tidak lagi dirasakan musafir yang melakukan perjalanan,  musafir cukup duduk manis menunggu kendaraan yang dinaiki sampai tempat tujuan. Hal ini jelas berbeda dengan yang dialami Rasulullah dan para sahabat ketika melakukan safar, fasilitas yang tersedia ini dirasa sangat memanjakan para musafir, oleh karenanya hal ini dianggap tidak akan menimbulkan masyaqqoh.
Rupa-rupanya, alasan inilah (perbedaan fasilitas zaman Nabi dan zaman berikutnya) yang kemudian ulama berbeda-beda pendapat tentang ‘illat safar. Sebagian ulama menetukan ‘illat safar adalah masyaqqoh (karena adanya kesempitan/kesusahan yag dirasakan musafir), bukan safar itu sendiri. Di sisi lain ada ulama yang berpendapat ‘illat safarnya adalah safar itu sendiri sebagaimana yang tertera dalam nash al-Qur’an dan hadits yang didalamnya tidak pernah menyebutkan masyaqqoh sebagai sebab seseorang boleh mengambil rukhshoh (keringanan). Kelompok ke dua ini nenganggap safar itu sendiri yang menjadi ‘illat safar, dan masyaqqoh dianggap sebagai hal yang harus dihindari sebelum masyaqqoh itu terjadi. Dengan kata lain masyaqqoh jangan sampai terjadi baru kemudian musafir diperbolehkan mengambil rukhshoh. Sedangkan menolak mafsadah dan mendatangkan masalahah merupakan hikmah syari’at, bukan sebagai ‘illat.
Kedua perbedaan inilah yang menjadi latar belakang penulis menyusun karya ilmiah ini. Apakah perbedaan situasi dan kondisi yang Nabi dan para sahabat alami dengan kondisi saat ini juga akan merubah ‘illat safar itu sendiri, menginagt adanya kaidah yang menyatakan bahwa perubahan hukum bisa terjadi karena berubahnya zaman dan tempat atau bahkan definisi serta jarak safar yang tertera dalam nash sudah tidak berlaku lagi, dalam arti; dalam kondisi yang serba mudah sekarang ini, masih relevankah nash-nash yang berbicara menganai safar dimana jarak yang tertera dalam nash dirasa sangat dekat dan mudah dijangkau? Dimana penulis akan mencoba mencari ‘illat safar dengan pendekatan nalar ta’lily.
 BAB II
‘ILLAT AL-HUKM
A.    Definisi ‘Illat al-Hukm
Illat, bersal dari bahasa arab عَلّ يَعِلُّ عَلًّا وعَلَلَا. العلة  berarti penyakit, dan عِلَلٌ (‘ilalun)  bentuk jama dari al-‘illat yang berarti sebab.[5] Secara etimologi, ‘illat berarti sesuatu  yang karena keberadaannya maka hukum menjadi ada. Dinamakan ‘illat karena ia merupakan penyakit.[6] ‘Illat juga disebut perkara yang  memunculkan hukum, berupa tasyri’(pensyariatan suatu hukum). Ada pula yang berpendapat bahwa ‘Illat adalah  dalil, tanda dan yang memberitahu adanya hukum. ‘Illatlah yang membangkitkan tegaknya sebagian hukum yang memiliki ‘illat.
'Illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal (pokok) yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada furu’ (cabang) yang belum ditetapkan hukumnya.[7] Menurut Abd Abd Rahman, ‘illat secara etimologi juga disebut sebagai sebab. Dan ada pula yang memaknai ‘illat itu sebagai penyakit. Disebut penyakit karena penyakitlah yang dapat membuat kondisi tubuh berubah. Sebagaimana halnya ‘illat yang ada-tidaknya dapat membuat hukum bisa berubah.[8] Contohnya seperti sabda nabi mengenai anjuran berjenggot  agar dapat membedakan antara style orang Yahudi dengan orang Muslim, saat itu orang-orang Majusi banyak memanjangkan kumis dan memotong jenggotnya. Oleh karenanya Nabi memerintahkan sahabat untuk memelihara jenggot mereka agar bisa membedakan antara orang Yahudi  dengan  orang Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
Potonglah kumis, panjangkan janggut, selisihilah kaum majusi”. (HR Muslim)
Dari penjelasan di atas dapat difahami bahwa perintah Nabi saat itu terdapat ‘illat (sebab hukum), yaitu untuk membedakan antara muslim dengan orang Majusi. Jika suatu hukum disandarkan pada ‘illat, maka ketika ‘illat-nya hilang berarti hukumnya pun berubah, hal ini sejalan dengan kaidah الحكم يدور مع عللته وجودا وعدما (ada tidaknya hukum tergantung dengan ada tidaknya ‘illat). Seperti yang kita ketahui saat ini bahwa orang-orang Yahudi tidak lagi membiarkan kumisnya sebagai ‘ciri’ ke-Yahudiannya, maka perintah memanjangkan jenggot pun berubah. Dari yang bersifat anjuran menjadi pilihan (mubah) karena ‘illatnya pun berubah.
Perbedaan ulama’ mengenai definisi ‘illat :
1.   Jumhur Ulama’ Madzhab Hanafi, sebagian besar Madzhab Hanafi dan Imam Al-Baisadawi (salah seorang Ulama’ Madzhab Syafi’i) mengatakan bahwa ‘illat sebagai suatu sifat pengenal hukum, apabila terdapat ‘illat suatu kasus, maka ‘illat pun ada.[9]
2.   Menurut al-Baidawi, sebagian ulama hanafiah dan sebagian ulama Hanabilah mendefinisikan ‘illat hukum adalah suatu sifat yang berfungsi sebagai pengenal bagi suatu hukum. Jadi, dimana ada ‘illat disitu ada hukum, karena dengan keberadaan ‘illat itulah hukum bisa diidentifikasi. [10]
3.   Menurut al-Amidi dan Ibn al-Hajib, ‘illat adalah suatu sifat yang jelas dan konsisten, yang dengannya tujuan syari’at akan tercapai baik untuk memperoleh kemaslahatan ataupun menolak kemadharatan.[11]
4.   Abd Al-Wahhah Khallaf mendefinisikan ‘illat sebagai sifat yang terdapat dalam hukum asal yang digunakan sebagai dasar hukum. Seperti  khamr, yang memiliki sifat memabukkan. Jadi, sifat (‘illat) memanbukkan ini yang menjadi dasar diharamkannya khamr. Dengan sifat ini dapat diambil hukum bahwa setiat yang memabukkan itu haram.[12]
5.   Dr. Yusuf Qardhawi memahami ‘illat sebagai sifat (deskripsi) yang tampak, yang tetap, yang dapat dibatasi dan didefinisikan oleh setiap mukallaf. [13]
6.   ‘illat adalah sifat yang ada pada ashal, yang dengan sifet itulah hukum di tegakkan dan dengan sifat itulah diketahui berwujud hukum pada furu’.[14]
7.   Syaikh khudhari biek mendefinisikan ‘illat dengan dua pengertian;
1. Hikmah yang timbul di atas pembentukan hukum, yaitu maslahah,
2. Kerusakan yang dikehendaki penolakannya atau pengurangannya. [15]
Dari sekian definini ‘illat yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa ‘illat adalah pengenal hukum sifatnya jelas, konsisten, dan sesuai dengan maqashid syari’ah.[16] Hampir semua ulama ushul sepakat bahwa ‘illat menjadi sifat yang menjadi petunjuk adanya hikmah syari’at. Karena memang tujuan syari’at adalah mendatangkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.
B.     Kedudukan ‘Illat dalam Hukum
Dalam menentukan hukum, tidak semua dalil yang berkaitan dengan hukum menyebutkan ‘illat. Bahkan ada beberapa hukum yang tidak memilki ‘illat. Jadi nash hukum itu ada dua macam;
1.      Nash hukum yang tidak memiliki ‘illat, yakni keberadaan hukum  tidak sidasarkan pada ‘illat, hukum yang demikian ini disebut dengan hukum ta’abbudi, yakni hukum yang harus dilaksanakan dengan penuh ketaatan pada pemilik hukum, Allah swt. Oleh karenanya hukum yang demikian ini tak akan pernah berubah karena hanya Allah dan Rasul-Nya lah yang memilki otoritas pengubahan hokum tersebut. Contoh hukum ta’abbudi ini antara lain mengenai hukum larangan mengkonsumsi daging babi. Dalam larangan ini, Syari’ tidak menyebutkan adanya ‘illat. Adapun mengenai pendapat yang menyatakan bahwa babi itu mengandung cacing pita yang sangat banyak dan dapat menimbulkan dampak negatif  pada kesehatan juga tidak dapat dikatakan sebagai ‘illat. Pendapat yang demikian bukanlah ‘illat, tapi ia lebih merupakan hikmah hukum. (mengenai perbedaan antara ‘illat al-hukm dengan hikmah hukum lebih jelasnya akan dibahas di tema selanjutnya).
2.      Nash yang terdapat ‘illat. Jika nash tersebut memiliki ‘illat maka ada tidaknya hukum bergantung pada ada tidaknya ‘illat yang menjadi dasar hukum. Jadi  hukum itu bisa berubah sesuai dengan ada tidaknya ‘illat. Dalam menetapkan hukum manusia diberi keluasan untuk menentukan ada tidaknya hukum, atau berlaku tidaknya penerapan hukum tersebut. Oleh karena itu, hukumnya pun sangat mungkin mengalami perubahan sesuai dengan kondisi waktu, zaman, dan tempat karena mungkin ‘illat-nya juga berubah, sebagaimana kaidah “perubahan fatwa dapat disebabkan perubahan zaman, tempat, keadaan, kebiasaan, dan niat (motivasi)”. Juga berdasarkan kaidahلاينكرتغيرالاحكام بتغيرالازما (tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman).
Dari penjelasan diatas, kita dapat menyimpulakan bahwa kedudukan ‘illat dalam penerapan hukum sangat erat dan penting. Dimana ada tidaknya ‘illat akan mempengaruhi ada tidaknya hukum, seperti kaidah الحكم يدور مع عللته وجودا وعدما . dengan kata lain, perubahan ‘illat secara otomatis hukum juga berubah.
C.    Karakter ‘Illat
Beberapa kriteria ‘illat;
1.      Sifat 'illat itu hendaknya nyata[17], masih terjangkau akal dan pancaindera.[18] Hal ini diperlukan karena 'illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada fara' (cabang). Seperti sifat menghabiskan harta anak yatim, terjangkau oleh pancaindera dan akal, bahwa 'illat itu ada pada memakan harta anak yatim ( sebagai ashal) dan terjangkau pula oleh pancaindera dan akal bahwa 'illat itu ada pada menjual harta anak yatim (sebagai fara'). Contoh lain, sifat memabukkan pada hukum khamr (sebagai asal yang ‘illat-nya jelas), dapat diterapkan pada furu’nya, misalnya sabu-sabu dengan sifat yang sama yakni memabukkan. Jika sifat 'illat itu samar-samar, kurang jelas dan masih ragu-ragu, tentulah tidak dapat digunakan untuk menetapkan ada dan tidaknya hukum pada ashal.
2.      Sifat 'illat itu hendaklah pasti,[19] tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa 'illat itu ada pada furu',[20] karena asas qiyas itu adalah adanya persamaan illat antara ashal dan fara'.[21] Seperti pembunuhan sengaja dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya hakekatnya adalah pasti, karena itu dapat dijadikan dasar qiyas atas peristiwa pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh penerima wasiat terhadap orang yang telah memberi wasiat kepadanya. Contah lainnya, rukshoh bagi musafir, ‘illatnya bukan karena adanya dugaan untuk menolak kesukaran, karena tidak semua orang yang sedang dalam perjalanan itu mengalami kesukaran, sukar tidaknya tergantung orang yang melakukakan perjalanan tersebut (subyektif).[22]
3.      'Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan bahwa 'illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. [23]Seperti memabukkan adalah hal yang sesuai dengan hukum haram minum khamr, karena dalam hukum itu terkandung suatu hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk.
4.      ‘illat bersifat tetap dan tidak relatif.
Contohnya orang yang membunuh pewaris tidak boleh mendapatkan warisan darinya, namun bagaiman jika pewaris berwasiat: “Bila saya mati maka harta saya sepertiga untuk fulan bin fulan”. Kemudian si fulan membunuh si pemberi wasiat karena ingin segera mendapatkan harta wasiat tersebut. Maka dia tidak berhak mendapatkan harta itu karena illatnya sama dengan yang tadi. Jadi ‘illat-nya disini tetap, yakni membunuh.
5.      Sifat tersebut tidak dilalaikan oleh syari’at. Contohnya bila seorang ayah membunuh anaknya dengan sengaja, maka secara qiyas ayah berhak dibunuh sebagai qishash karena ‘illatnya adalah pembunuhan secara sengaja.[24] Namun illat ini dilalaikan oleh syari’at sebagaimana dalam hadits:
لَا يُقَادُ الْوَالِدُ بِالْوَلَد
Ayah tidak diqishas karena (membunuh) anaknya. (HR Tirmidzi dengan sanad jayyid).
Dari penjabaran di atas, jelaslah bahwa ‘illat haruslah bersifat nyata, jelas, dapat dijangkau akal, dan tidak subyektif (obyetktif).

D.    Masalik al-‘Illat
Dalam al-Qur’an maupun al-hadits, adakalanya ‘illat tercantum dengan jelas, dengan kata lain ‘illat itu dapat dengan mudah diketahui keberadaanya dan adakalanya sukar untuk diketahui. Untuk itu, masalikl al-‘illat atau turuk al-illat diguakan untuk mengetahui eksisitensi ‘illat baik ‘illat yang sudah jelas maupun ‘illat yang masih butuh pencarian mendalam. Musâlikul 'illat, ialah cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau 'illat dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum.  Diantara cara tersebut, ialah:
1.       Nash yang menunjukkannya, berdasarkan konteks nash. Jika dilihat berdasarkan nash tentang sifat suatu kejadian atau peristiwa yang merupakan 'illat itu ada dua macam, yaitu sharahah (jelas) dan ima' atau isyarah (dengan isyarat).
                  Dalalah sharahah, adalah petunjuk ‘illat terletak pada nash al-Qur'an atau Hadits itu sendiri. Dalalah sharahah ini ada dua macam, yakni dalalah sharahan qhat’i dan dalalah sharahah dhanni.
Dalalah sharahah yang qath'i, ialah apabila penunjukan kepada 'illat hukum itu pasti dan meyakinkan karena tidak adanya kemungkinan makna lain selain yang disebut dalam nash biasanya ditandai dengan lafadz من اجل  , لاجل , كي, dan اذن [25]seperti sabda Nabi Muhhammad SAW:
"Aku melarang kamu menyimpan daging binatang kurban tidak lain hanyalah karena banyak orang berkumpul (memerlukan). Dan (jika tidak banyak orang memerlukan) makan, simpanlah."(HR. an-Nasâ'i)
                  Pada hadits di atas diterangkan 'illat Rasulullah SAW melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban, yaitu karena banyak orang yang memerlukannya. 'Illat larangan menyimpan daging kurban itu tidak dapat ditetapkan orang lain karena sudah jelas tertera dalam teks.
                  Dalalah sharahah yang dhanni, ialah apabila penunjuk nash kepada 'illat hukum itu adalah berdasar dugaan keras (dhanni), karena kemungkinan dapat dibawa kepada 'illat hukum yang lain. Dalam dalalah sharahah in biasanya ditandai dengan huruf ba’ ب , lam ل , fa’ ف , dan in ان. Seperti firman Allah SWT dalam surat an-nisa' (4): 106 berikut:
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا
     Maka disebabkan kedhaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka"
                  Pada ayat di atas, Allah menjadikan sifat dholim sebagai 'illat diharamkannya makanan yang baik-baik bagi orang-orang Yahudi.
                  Sedangkan dalalah ima' (isyarah), ialah petunjuk yang dipahami dari sifat yang menyertainya, atau dengan perkataan lain ialah ada suatu sifat yang menyertai petunjuk itu dan sifat itu merupakan 'illat ditetapkannya suatu hukum. Jika penyertaan sifat itu tidak dapat dipahamkan demikian, maka tidak ada gunanya menyertakan sifat itu. Contohnya seperti sabda Nabi Muhammad SAW :"Seseorang tidak boleh memberi keputusan antara dua orang (yang berperkara) dalam keadaan ia sedang marah."(HR. Bukhari dan Muslim).
Teks di atas menunjukkan larangan memberi keputusan disandingkan atau disertai kata “dalam keadaan ia sedang marah”. Jadi ‘illatnya adalah sifat yang menyertainya, yaitu sifat marah. jadi ditetapkanya 'illat adalah karena adanya indikasi yang menunjukkan adanya 'illat.
2.    Sifat (‘illat) itu berdasarkan ijma' (kesepakatan mujtahid)
3.    Dengan penelitian. Penelitian yang dilakukan antara lain:
a.       Munasabah
   Munasabah adalah kesesuaian keadaan atau sifat terhadap perintah atau larangan. Kesesuaian itu haruslah dapat diterima akal, karena berhubungan dengan tujuan syari'at yakni  mengambil manfaat dan menolak kerusakan atau kemudharatan bagi manusia. Kesesuaian (munasabah) ini dibagi 3 tingkatan:
1)      Tingkat dharuri (kebutuhan primer), yakni sesuatu yang harus ada karena ia merupakan unsur utama tegaknya kamaslahatan agama dan dunia yang tanpanya kemaslahatan dunia tidak akan terwujud, karena jika kebutuhan ini tidak dilaksanakan maka akan timbul kerusakan, bertambahnya kejahatan dan hilangnya kemaslahatan. Misalnya; ibadah, makan-minum, pakaian, hukuman bagi orang-orang yang melakukan pelanggaran, dll.[26] Dalam tingkatan ini, ada 5 hal yang harus dijaga:
a)      Menjaga agama (hifzdu dîn), dimaksudkan untuk memerintahkan kaum muslimin agar menegakkan syi'ar-syi'ar Allah, seperti mendirikan shalat yang lima waktu, puasa, zakat, haji, jihad dan sebagainya. 
b)      Memelihara jiwa (hifzdu an-nafs), yakni dengan adanya larangan membunuh dan disyari'atkannya hukum  qishash.
c)      Memelihara akal (hifzdu aqli), syari'at menjamin segala keselamatan, yakni dengan melarang hal-hal yang dapat merusak akal atau hal yang dapat melemahkan akal, misalnya larangan minum khamr dan semua perbuatan yang dapat merusak akal.
d)     Memelihara keturunan (hifzdu nasl), yakni untuk menjaga silsilah nasab, oleh karenaya syari'at menganjurkan orang yang mampu untuk  segera menikah, dan adanya larangan zina juga hukuman rajam bagi pezina.
e)      Memelihara harta (hifzdu mal), misalnya ditetapkannya hukum potong tangan bagi pencuri, hukuman berat bagi perampok dan sebagainya.
2)      Tingkat hajji (yang sangat diperlukan / kebutuhan sekunder), yakni kebutuhan manusia yang dengannya dapat mempermudah manusia menjalani hidupnya dan menghilangkan kesulitan. dan jika tidak dilakukan tidak sampai mengancam jiwa, agama, harta, nasab dan akal. Sehingga dalam hukum Islam ada yang disebut rukhshoh atau keringanan yang Allah berikan untuk hamba-Nya agar tidak mengalami kesulitan. Misalnya keringan bolehnya melakukan shalat dengan duduk bagi orang yang sedang sakit, bolehnya berbuka puasa bagi musafir, dll.
3)      Tingkat tahsini (kebutuhan tersier). Kebutuhan jenis yang ketiga ini sebenarnya hanya kebutuhan yang dengannya hidup terasa nyaman dan terasa indah.  Namun jika kebutuhan tahsini tidak ada, maka kehidupan manusia tidak akan terasa sulit karena kebutuhan tahsini hanya sebagai pelangkap hidup. Tahsini adalah segala sesuatu yang baik dikerjakan, terutama yang berhubungan dengan akhlak dan susila, misalnya sopan santun, dan dalam ibadat misalnya mengerjakan perbuatan yang sunnah.
4.     Assabru wa at-taqsîm
            As sabru berarti meneliti kemungkinan-kemungkinan dan taqsim berarti menyeleksi atau memisah-misahkan. As sabru wa at-taqsim maksudnya ialah meneliti kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa atau kejadian, kemudian memisahkan atau memilih diantara sifat-sifat itu yang paling tepat dijadikan sebagai 'illat hukum. As sabru wa at-taqsim dilakukan apabila ada nash tentang suatu peristiwa atau kejadian, tetapi tidak ada nash atau ijma' yang menerangkan 'illatnya. Assabru wa taqsîm ada 3 macam; 1) takhrij al-manath, 2) Tanqîhul manath, 3) Tahqîqul manath.
a.       Takhrij al-manath adalah mencari dan mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada ashl (dasar/pokok) dan furu' (cabang). Pencarian dan pengumpulan ini dapat bersumber dari dalil, baik dalil sharih maupun dalil isyarah (ima') juga bisa bersumber dari ijmak mujtahid.  
b.       Tanqihul manath, ialah mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada furu' dan sifat-sifat yang ada pada ashal, kemudian dicari yang sama sifatnya. Sifat-sifat yang sama dijadikan sebagai 'illat, sedang sifat yang tidak sama ditinggalkan.
c.  Tahqiqul manath, yaitu metode penetapan 'illat. Maksudnya ialah sepakat menetapkan 'illat pada ashal, baik berdasarkan nash atau tidak. Kemudian 'illat itu disesuaikan dengan 'illat pada furu'.[27]
E.     Perbedaan antara Illat Al-Hukm dengan Hikmah Hukum   
Ulama sepakat bahwa Allah SWT membentuk hukum dengan tujuan untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Kemaslahatan itu adakalanya dalam bentuk mengambil manfaat (jalbul manâfi') dan adakalanya dalam bentuk menolak kerusakan dan bahaya (darul mafâsid). Kedua macam bentuk hukum itu merupakan tujuan terakhir dari pembentukan hukum yang disebut hikmah hukum. Dalam setiap pensyari’atan dapat dipastikan mengandung unsur maslahah karena tidak mungkin Allah memerintahkan sesuatu kecuali di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi yang diperintah, yaitu manusia itu sendiri. Seperti disyari’atkannya sholat, dewasa ini telah banyak diungkap nilai atau efek positif dalam sholat yang hal ini baru diungkap setelah syari’at sholat itu ada sejak empat belas abad yang lalu. Allah tidak mungkin melarang sesuatu kecuali larangan tersebut memiliki dampak negatif bagi manusia. Hanya saja kita belum mengetahui semua efek-efek disyari’atkannya suatu hukum.
Dalam proses penentuan hukum, dikalangan para mujtahid sering terlarut dalam pembahasan dan pencampuran makna ‘illat hukum dan hikmah hukum. Dengan kata lain, untuk mengklasifikasikan kategori antara ‘illat hukum dan hikmah hukum masih samar-samar sehingga terkadang atau bahkan sering terjadi pengaburan makna diantara keduanya. Jika dipilah-pilah dan diteliti kembali, antara ‘illat dan hikmah sebenarnya mempunyai karakter masing-masing. Sehingga keduanya tak bisa disamakan namun juga tak dapat dipisahkan mengingat adanya keterkaitan yang sangat erat antara syari’at dan hikmah itu sendiri karena setiap syari’at dipastikan ada hikmah yang terkandung di dalamnya.
Pentingnya kedudukan ‘illat dalam penentuan hukum menuntut adanya penjelasan dari kesamaran-kesamaran percampuran makna ‘illat dan hikmah. Oleh karena itu, untuk menentukan illat safar kita perlu membedakan karakter antara hikmah dan ‘illat terlebih dulu. Perbedaan hikmah dan ‘illat adalah:
1.      Hikmah hukum merupakan pendorong pembentukan hukum dan sebagai tujuannya yang terakhir ialah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat dengan memperoleh manfaat dan keuntungan serta terhindar dari segala macam kerusakan. Sedangkan ‘illat hukum adalah suatu sifat yang nyata dan pasti ada pada suatu peristiwa yang dijadikan dasar hukum. Contohnya, saat seseorang melakukan safar, maka ‘illatnya adalah safar itu sendiri, karena sifatnya sudah jelas dan pasti sehingga safar bisa dijadikan dasar hukum. Sedangkan orang yang mengambil rukhshah dengan alasan masyaqqah sebagai ‘illat susah diterima kerena masyaqqoh itu sifatnya subyektif, ada yang merasa safar itu masayaqqah dan ada juga yang menganggap safar itu tidak mengandung masyaqqah. Oleh karena masyaqqah itu tidak akan dirasakn semua orang yang sedang safar (subyektif) maka tidak bisa dijadikan dasat hukum. Hal ini dikarenakan masyaqqoh itu sebagai tujuan akhir, yakni sebagai hikmah hukum.
2.      ‘Illat  merupakan pemicu disyariatkannya suatu hukum, sedang hikmah adalah perkara yang menjelaskan hasil dan tujuan dari hukum. ‘Illat itu ada sebelum adanya hukum. Sedangkan hikmah adalah sebab positif dan hasil yang dirasakan kemudian setelah adanya peristiwa hukum Sebagai contoh ialah seorang musafir boleh mengqashar shalatnya, seperti mengerjakan shalat Dzuhur yang empat raka'at menjadi dua raka'at dan sebagainya. Hikmahnya ialah untuk menghilangkan masyaqqah atau madharat karena menghillangkan masyaqqah diperoleh setelah peristiwa hukum telah dilakukan.
3.      Hikmah hanya merupakan dugaan saja dan tidak dapat dijadikan dasar ada atau tidaknya hukum, sedang 'illat adalah suatu yang nyata dan pasti, seperti safar (dalam perjalanan) menyebabkan seseorang boleh mengqashar shalat. Sedangkan masyaqqah hanya sebagai dugaan yang akan dialami orang yang melakukan safar.
Dari penjelasan singkat di atas, kiranya jelas perbedaan antara ‘illat dan hikmah. Dari ini, jelaslah mana ‘illat safar itu. apakah safar itu sendiri atau masyaqqah.
F.     Perbedaan antara Illat Al-Hukm dengan Sebab
Mengenai 'illat hukum dan sebab hukum, ada yang tidak membedakannya, mereka menyamakan arti kedua istilah tersebut. Sebagian ulama lagi membedakannya, perbedaannnya adalah:
‘Illat adalah perkara yang menjadi sebab ada tidaknya suatu hukum. Sedangkan sebab adalah tanda (‘amarah) sebagai penanda adanya suatu  peristiwa hukum, seperti  tergelincirnya matahari pada siang hari merupakan sebab seorang muslim wajib mengerjakan shalat Dzuhur karena tergelincirnya matahari merupakan tanda masuknya awal waktu sholat dhuhur. Demikian pula terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Sya'ban merupakan sebab kaum muslimin besoknya mengerjakan puasa bulan Ramadlan. Terbenamnya matahari juga merupakan tanda masuknya awal waktu bulan ramadhan, oleh karenanya ia disebut sebab, bukan ‘illat.
 ‘Illat adalah pemicu disyariatkannya suatu hukum. Jadi, ‘Illat adalah sabab pensyariatan hukum, bukan sebab adanya hukum, sehingga ‘illat termasuk salah satu dalil-dalil hukum. Contohnya adalah melalaikan shalat, yang digali dari firmanAlah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Jumuah [62] :9)
Melalaikan shalat, menjadi sebab disyariatkanya suatu hukum, yaitu larangan berjual-beli ketika azan Jumat. Dengan demikiain disebut ‘illat bukan sabab. Hal ini berbeda dengan tergelincirnya matahari, tergelincirnya bukan merupakan’illat karena shalat dzuhur tidak  disyariatkan karennanya. Itu hanya merupakan tanda dimulainya waktu sholat dhuhur.

G.    Hikmah Mengetahui ‘Illat Al-Hukm
Hikmah kita mengetahui ‘illat adalah untuk mempermudah kita dalam memahami sebuah teks sehingga kita tidak terjebak pada pemahaman tekstual yang mengesankan islam sebagai agama yang ‘ketat’. Dengan mengetahui ‘illat (dan maksud syari’at) hukum islam akan menjadi hukum yang selalu relevan disegala penjuru dan sesuai dengan perkembangan zaman, dengan kata lain hukum islam itu bersifat elastis.





BAB III
A.    Definisi Safar  dan Musafir
Safar, dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah perjalanan. Safari, berarti perjalanan atau petualangan jarak jauh, suatu kegiatan ekspedisi (penyelidikan, penelitian, wisata, dsb). [28]Kata safar berasal dari bahasa arab سُفُوْرًا- سَفْرًايَسْفُرُ- سَفُرَ yang berarti bepergian.[29] Musafir, merupakan bentuk isim fa’il dari kata سفر  yang berarti orang yang melakukan perjalanan atau orang yang bepergian. Dalam hal ini, safar tidak sesederhana bepergian saja, karena yang dimaksud safar disini adalah safar yang membolehkan seseorang mengambil rukhsoh, baik itu mengqasar (meringkas) sholat atau berbuka puasa (jika puasa wajib seperti ramadhan). Oleh karenanya, dalam hal ini ulama berbeda pendapat mengenai kategori seseorang disebut safar (musafir). Kategori musafir yang diperdebatkan ulama mengenai waktu lamanya dan jarak safar.
Mengenai batas waktu musafir, Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk di dalamnya imam empat berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu. Semua ulama sepakat bahwa seorang musafir diperbolehkan mengqoshor shalat selama dia berada di perjalanan. Namun jika dia sudah sampai di tempat yang dia tuju dan tinggal beberapa hari di sana, berapa lama waktu dia masih diperbolehkan mengqoshor shalat? Dalam masalah ini terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama. Diantara pendapat-pendapatya sebagai berikut:
1.      Imam Malik dan imam Syafi’i berpendapat bahwa jika berniat untuk bermukim lebih dari 4 hari, maka tidak boleh mengqoshor shalat.[30]
2.      Abu Hanifah dan Sufyan Tsauri berpendapat bahwa jika musafir sudah berniat menetap di suatu tujuan selama 5 hari, shalatnya tanpa mengqasar.[31]
3.      Madzhab Ahmad dan Abu Daud, tetap dikatakan musafair selama tidak berniat menetap.[32] Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yaitu musafir boleh mengqoshor shalat terus menerus selama dia berniat untuk tidak menetap, walaupun itu lebih dari 4, 15 atau 20 hari.
Ulama yang lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As-Sa'di, Syaikh Utsaimin, madzhab al-Hasan, Qatadah, Ishaq dan para Ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk mengqashar shalat selama berniat untuk kembali ke kampung halamannya walaupun masih berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Pendapat ini karena tidak ada satu dalilpun yang sahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Pendapat ini berdasarkan dalil bahwa nabi pernah mengqosor sholatnya selama beliau di makkah 18,19 atau 20 hari. Sahabat Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwasannya Rasulullah saw tinggal di Makkah selama Sembilan belas hari mengqosor sholat. Mereka beragumen dengan dalil-dalil sebagai berikut :
حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكُ قَالَ: - خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مِنْ اَلْمَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ، فَكَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعْنَا إِلَى اَلْمَدِينَة .قلت أقمتم بمكة شيئا ؟ قال أقمنا بها عشرا) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ(
Anas bin malik menceritakan; “kami keluar bersama Rosulullah saw dari madinah menuju makkah, lalu beliau sholat dua raka’at dua roka’at sampai kami kembali ke madinah.”  (HR. Bukhari)[33]
 عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ فَنَحْنُ إِذَا سَافَرْنَا تِسْعَةَ عَشَرَ قَصَرْنَا وَإِنْ زِدْنَا أَتْمَمْنَا)رواه البخاري (
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam tinggal selama 19 hari sambil melakukan qashar.  Jika kami melakukan safar selama 19 hari, maka kami melakukan qashar.  Dan jika lebih dari itu, maka kami menyempurnakan shalat” (HR. Bukhari)

Diriwayatkan dari Jabir ra. Dia berkata, “Nabi saw. tinggal di Tabuk selama dua puluh hari sambil tetap mengashar shalat”(HR. Abu Dawud no. 1223, dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Sunan AbiDawud no. 1094)
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa lama watu seseorang disebut musafir tidak ditentukan. Hadits yang menyebutkan waktu tidak bisa dijadikan patokan, karena yang demikian itu hanya merupakan kejadian, bukan menerangkan batas waktu.[34]Para salafush shalih seperti Ibnu Umar, pernah bermukim di Azerbaijan selama enam bulan, selama musim salju dan beliau terus menerus shalat dua raka’at.[35]
Jadi seseorang dikatakan musafir jika seseorang bepergian atau tinggal di suatu tempat tanpa berniat untuk menetap ditempat tersebut. Adapun untuk orang yang sudah menetap dan memiliki tempat tinggal permanen (seperti seorang pelajar yang merantau ke negeri orang dan menetap beberapa tahun di sana), maka kondisi semacam ini sudah disebut mukim dan tidaklah disebut musafir.[36]
Dilihat dari segi niat, an-Nawawi mengatakan bahwa jumhur berpendapat bolehnya mengqosor sholat pada setiap bepergian yang mubah[37]. pendapat ini juga dipengangi Syafi’i dan Malik.[38] Sebagian ulama’ salaf mengatakan, bolehnya qosor sholat jika safarnya karena takut.[39] Sebagian ulama’ lainnya berpendapat boleh qosor dalam rangka mendekatkan diri pada Allah seperti safar haji, umroh, atau jihad.[40] Dan sebagian ulama lagi berpendapat boleh qosor pada setiap safar yang diniatkan sebagai ketaatan pada Allah swt. Sedangkan Abu Hanifah dan pengikutnya serta Tsauri berpendapat boleh mengqosor sholat baik safar yang dilakukan dalam rangka ketaatan atupun kemaksiatan. [41]
B.     Jarak Safar Menurut  Para Ulama’
Para ulama telah berbeda pendapat dalam menentukan jarak safar yang membolehkan untuk mengqashar shalat. Diantara pendapat ulama’ adalah sebagai berikut;
1.   Banyak ulama berpendapat bahwa jarak safar yang diperbolehkan mengqoshor shalat adalah 6 farsakh atau 48 mil (85 km).
2.   Abu Hanifah berpendapat bahwa jarak safar yang diperbolehkan untuk mengqoshor shalat adalah apabila menempuh perjalanan tiga hari tiga malam dan qosor hanya boleh dilakukan oleh orang yang bepergian sangat jauh. [42]
3.   Malik, Syafi’i, Ahmad, dan ulama lain berpendapat jarak minimalnya adalah jarak yang ditempuh selama perjalanan sehari.[43]
4.   Ulama zhahiri berpendapat jauh atau dekatnya jarak perjalanan diperbolehkan mengqosor sholat[44]. Pendapat ini sejalan dengan pernyataan Syaikh Nashiruddin Al Albani rahimahullah, ia berkata : Tidak ada batasan jarak tertentu dengan ukuran kilometer atau marahil. Karena ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan safar dalam Al-Qur`an berkaitan dengan qashar shalat ataupun kebolehan berbuka (tidak puasa) di bulan Ramadhan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan safar secara mutlak, tanpa menetapkan batasannya. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-baqoroh(2) 184 dan surat an-Nisa’(4)
...  فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
                  ….Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain….
Dalam surat an-Nisa: 101 disebutkan;
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”.

Sebagaimana dalam kitab Nailul Author penulisnya mengatakan: “Sebagian ulama-ulama Kufah, manakala hendak berpergian memilih shalat dua raka’at, meskipun masih di daerahnya. Sebagian mereka ada yang berkata :”Jika seseorang itu naik kendaraan, maka qashar saja kalau mau”. “Sesungguhnya dia mukim di Makkah dan manakala dia keluar ke Mina, dia mengqashar (shalat)”.
Hadits ini sanadnya juga shahih, dan dikuatkan. Apabila penduduk Makkah hendak keluar bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Mina, dalam haji Wada’, maka mereka mengqashar shalat juga sebagaimana sudah tidak ada lagi dalam kitab-kitab hadits. Sedangkan jarak antara Makkah dan Mina hanya satu farsakh. Ini seperti keterangan dalam Mu’jamul Buldan. Sementara itu Jibilah bin Sahim memberitahukan : “Aku mendengar Ibnu Umar berkata : “Kalau aku keluar satu mil, maka aku mengqashar shalat”. Hadits ini disebutkan pula oleh Al-Hafidz dan dinilainya shahih. Dari peristiwa dia atas, tidak ada hadits yang membatasi jarak safar.
5.      Atau yang bisa jadi patokan juga adalah jika saat safar seseorang itu butuh perbekalan ketika melakukan perjalanan. 
6.   Seseorang dapat dikatakan musafir jika telah menempuh jarak sejauh 3 mil. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas Bin Malik radhiallahu’anhu: Biasanya Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam kalau beliau keluar (melakukan perjalanan) sejauh 3 mil atau 3 farsakh beliau melakukan shalat dua rakaat. (HR. Muslim)
Dalam riwayat ini perowi ragu-ragu antara tiga mil atau tiga farsakh, namun riwayat dari ibnu umar menguatkan hadis di atas, ia berkata:
تقصرالصلاةفي مسيرةثلاثةاميال )ابن ابي شيبة(
        “Boleh diqosor sholat dalam perjalanan tiga mil”.
Cat: 1 mil = 1609 meter, 3 mil= 3x 1609 =4827 meter. Jadi 3 mil = kurang lebih 5 km. [45] Sedang 1 farsakh = 3 mil/1200 dzira’, setara dengan 5,59875 km.[46]
Selain mengenai jarak dan waktu safar, ulama juga berbeda pendapat mengenai hukum mengqosor sholat. Imam abu hanifah, pengikutnya serta ulama’ khufah berpendapat bahwa hukumnya wajib. Sebagian pengikut syafi’i membolehkan memililih antara qosor dan tidak. Sementara Syafi’i  sendiri menghukumi qosor hanya sebagai dispensasi dan tanpa qosor itu lebih baik. Berbeda lagi dengan Imam malik, Ia berpendapat hukum qosor adalah sunnah.[47]

C.    ‘Illat Safar
Dalam menentukan ‘illat safar, ulama berbeda pendapat  apakah ‘illatnya perjalan atau safar itu sendiri ataukah masyaqqah. Sebagaimana halnya ulama’juga berbeda pendapat mengenai jarak minimal safar untuk seseorang diperbolehkan mengqosor sholat. Ada yang mengatakan jarak seorang dkatakan musafir jika telah menempuh jarak 85 km. ada juga yang mengatakan jika perjalanan ditempuh tiga hari barulah seseorang dikatakan musafir. Perbedaan pendapat mengenai jarak ini muncul setelah zaman para sahabat atas dasar adanya masyaqqoh karena kesulitan yang dialami nabi dan para sahabat berbeda dengan kesulitan yang ditempuh saat itu yang jika yag menjadi ukuran adalah jarak. Dengan kata lain, pertimbangan masyaqqohlah yang menyebabkan perbedaan pendapat dalam menentukan jarak safar. 
Namun demikian, penjelasan-penjelasan sebelumnya penulis sudah memaparkan kriteria-kriteria ‘illat dan apa perbedaan antara ‘illat dengan hikmah. Dalam keterangan di atas, penulis telah menyebutkan bahwa ‘illat safar adalah safar atau perjalanan itu sendiri, sedangkan masyaqqah bukan merupakan ‘illat melainkan sebagi hikmah yang diperoleh setelah peristiwa hukum dilaksanakan. Fuqaha' mengatakan: hikmah diperbolehkannya berbuka puasa pada bulan Ramadhan adalah menolak masyaqqah bagi orang yang sakit dan safar.[48] Hal ini secara eksplisit telah ditunjukkan nabi dalam sabdanya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكُ قَالَ: - خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مِنْ اَلْمَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ، فَكَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعْنَا إِلَى اَلْمَدِينَةمُتَّفَقٌ عَلَيْهِ(
Anas Bin Malik menceritakan; “ kami pernah keluar (safar) bersama Rasulullah saw dari madinah ke makkah, dan beliau sholat dua raka’at hingga kami kembali ke madinah” (Muttafaq ‘Alaih)

Dari hadits ini menerangkan bahwa nabi tetap mengqosor sholat meski telah sampai ditempat tujuan. Dan dalam hadits ini juga tidak menerangkan bahwa nabi dalam keadaan kesulitan sehingga mengharuskan beliau mengambil rukhshoh karena adanya masyaqqoh. Dalam riwayat lain nabi juga bersabda:
 عَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَمْرٍو الأَسْلَمِىِّ أَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : إِنِّى أَجِدُ بِى قُوَّةً عَلَى الصِّيَامِ فِى السَّفَرِ فَهَلْ عَلَىَّ جُنَاحٌ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« هِىَ رُخْصَةٌ مِنَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَمَنْ أَخَذَ بِهَا فَحَسَنٌ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصُومَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ ».) رواه مسلم(
Dari Hamzah Bin Amr Al-Aslami bahwasannya ia berkata: ya Rasulullah, saya mampu berpuasa ketika safar, apakah saya berdosa  (jika saya berpuasa)? Lalu Rasulullah saw bersabda: ia (berbuka) adalah rukhshoh dari Allah, barangsiapa yang mengambil rukhshohNya maka itu baik. Dan barangsiapa suka berpuasa, maka tidak ada dosa baginya.” (HR. Muslim)

Hadits di atas menerangkan bolehnya seseorang yang mampu (kuat) melanjutkan puasanya saat safar itu dibolehkan. Seandainya masyaqah yang menjadi ‘illat (motivasi hukum), tentu nabi akan mewajibkan sahabat yang bertanya tersebut untuk tetap berpuasa karena mengaku masih sanggup berpuasa. Pertanyaan sahabat “apakah saya berdosa  (jika saya berpuasa)?” dan jawaban nabi: “ia (berbuka) adalah rukhshoh dari Allah, barangsiapa yang mengambil rukhshohNya maka itu baik”, menunjukkan bahwa berbuka puasa adalah rukhshoh yang Allah berikan pada hamba-Nya yang melakukan safar. Dan jawaban nabi: “barang siapa suka berpuasa, maka tidak ada dosa baginya” menunjukkan boleh berbuka tanpa syarat apapun (masyaqoh).Sedangkan musafir yang memaksakan diri tetap berpuasa padahal puasa itu dirasa berat baginya, nabi menyebutnya sebagai orang yang durhaka. Sebagaimana sabdanya:
عَنْ جَابِرٍ : أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ إِلَى مَكَّةَ عَامَ الْفَتْحِ فِى رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ وَصَامَ النَّاسُ مَعَهُ فَقِيلَ لَهُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ النَّاسَ قَدْ شَقَّ عَلَيْهِمُ الصِّيَامُ فَدَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ بَعْدَ الْعَصْرِ فَشَرِبَ وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ فَأَفْطَرَ بَعْضُ النَّاسِ وَصَامَ بَعْضٌ فَبَلَغَهُ أَنَّ أُنَاسًا صَامُوا فَقَالَ :« أُولَئِكَ الْعُصَاةُ ».

 “Bahwasannya pada bulan ramadhan Rasulullah keluar pada tahun kemenangan menuju makkah. Lalu beliau dan orang-orang berpuasa hingga sampai di kura’ul ghanim, kemudian ia meminta sekendi air lalu ia angkatnya hingga orang-orang melihatnya, lalu ia minum. Lalu dikatakan padanya : sesungguhnya sebagian orang berpuasa, lalu nabi menjawab: mereka itu durhaka, mereka itu durhaka.” (HR. Muslim)
عَنْ جَعْفَرٍ بِهَذَا الإِسْنَادِ وَزَادَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ شَقَّ عَلَيْهِمُ الصِّيَامُ وَإِنَّمَا يَنْظُرُونَ فِيمَا فَعَلْتَ. فَدَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ بَعْدَ الْعَصْرِ.
"Dari Ja’far dengan sanad ini dan Ia menambahkan. Lalu dikatakan padanya sesungguhnya orang-orang telah kepayahan berpuasa, dan mereka hanya mununggu tindakan engkau. maka ia minta sekendi air sesudah ashar, lalu ia minum. (HR. Muslim).
Dari penjelasan yang disertai dalil-dalil di atas, melaksanakn rukhshoh baik mengqoshor shalat, berbuka puasa, dan menjama’ sholat (taqdim atau ta’khir) tetap boleh dilakukan walaupun safar yang dilakukan penuh kemudahan.  Keringanan qoshor shalat itu ada karena melakukan safar dan bukan karena alasan mendapat kesulitan. Bolehnya melakukan/ mengambil rukhshoh yang Allah berikan dikaitkan dengan safar dan bukan dikaitkan dengan kesulitan. Sehingga walaupun safar yang ditempuh penuh kemudahan, tetap masih diperbolehkan untuk mengqoshor shalat. Oleh karenanya ‘illat safar adalah safar itu sendiri, sedangkan masyaqoh adalah hal yang harus dihindari agar kita memperoleh kemudahan.Dan kemudahan atau maslahat yang kita dapati setelah melakukan peristiwa hukum bukanlah disebut ‘illat, melainkan hikmah hukum seperti yang telah dipeparkan di atas, mengenai perbedaan ‘illat dan hikmah. Allah juga telah menegaskan dalam firmanNya bahwa Islam itu agama yang mudah, tidak mempersulit.
              

BAB IV
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Safar adalah perjalanan yang ditempuh dengan jarak minimal 3mil atau setara dengan kurang lebih 5km selama tidak ada niat untuk menetap. Jadi seseorang dikatakan musafir jika ia bepergian atau tinggal disuatu tempat tanpa berniat untuk menetap ditempat tersebut tanpa batas waktu. Adapun untuk orang yang sudah menetap dan memiliki tempat tinggal permanen, maka kondisi semacam ini sudah disebut mukim dan tidaklah disebut musafir. 
Adapun ‘illat safarnya adalah bepergian itu sendiri tanpa mensyaratkan adanya masyaqqoh yang dialami musafir. Pendapat ini didasarkan pada  jelasnya ‘illat yang tertera dalam ayat (‘illatnya diambil dari nash yang sharih). Di sisi lain, penulis tidak menemukan dalil baik dalam Qur’an maupun hadits yang menjelaskan keumuman ayat-ayat mengenai safar ‘illat safar yang berupa maysaqqoh. Adapun masyaqqoh yang dianggap ‘illat, sebenarnya merupakan hikmah disyari’atkannya suatu hukum yang timbul setelah peristiwa hukum dilaksanakan. Selain itu, salah satu kriteria ‘illat adalah pasti, bukan subyektif. Sedangkan masyaqqoh itu sifatnya subyektif.


[1] Khoiriyah, M.Ag, Islam dan logika modern, cet 1. Yogyakarta: Ar-ruzz media. 2008.
[2] Muhsin hariyanto, memahami nalar fikih: dari teks menuju konteks. Tanpa cetak.
[3] Kesesuaian pendapat Ulama’ tentang hukum agama.
[4] Defkriptif berarti menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, dan untuk menentukan frekuensi  atua penyebaran suatu gejalaadanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Analisis adalah jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan pemerincian obyek yang diteliti dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu denga yang lainnya untuk memperoleh kejalasan mengenai halnya.
[5] Ahmad Warson Munawwir, Al-munawwir, cet-14 (surabaya: pustaka progresif, 1997), hlm 965.
[6] Badrun Abu Al-‘Ina’in Badrun, ushul fiqh al-islami, Iskandaria.
              [7] Muhsin Hariyanto, Hand-Out Kuliah Pengantar Hukum Islam/PUTM, tidak dicetak, hlm 1
[8] Hasbi umar, Nalar fiqih kontemporer, cet. Ke-1 (jakarta; gaung persada press, 2007), hlm 78.
[9] H. Asjmini Abdurrahman,Memahami Makna Tekstual, Kontekstual Dan Liberal, Cet. Ke-2 (Yogyakarta; suara muhammadiyah, 2008), hlm. 27.
[10] Hasbi umar, Nalar Fiqih Kontemporer, Cet. Ke-1 (Jakarta; Gaung Persada Press, 2007), hlm 76.
[11] Ibid, hal 77.
[12] . ibid
[13] Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer. Surabaya: Risalah Gusti, 2009, hal 106.
[14] T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sari Kuliah Ushul Fiqih, Yogyakarta: Ramadhani Sala, 1977, hal 21.
[15] Syaikh Muhammad Al-Khudhari Beik, Ushul Fikih, (Jakarta; Pustaka Amani, 2007),  hlm 659.
[16] Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, cet. Ke-1 (Jakarta; Gaung Persada Press, 2007), hlm 77.
[17] T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sari Kuliah Ushul Fiqih, Yogyakarta: Ramadhani Sala, 1977,  hlm 22.
[18] Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, cet. Ke-1 (Jakarta; Gaung Persada Press, 2007), hlm 78.
[19] Ibid,
[20] T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sari Kuliah Ushul Fiqih, Yogyakarta: Ramadhani Sala, 1977, hlm 22.
[21] Badrun Abu Al-‘Ina’in Badrun, Ushul Fiqh Al-Islami, Iskandaria. Hlm 174.
[22] Hasbi umar, Nalar Fiqih Kontemporer, Cet. Ke-1 (Jakarta; Gaung Persada Press, 2007), Hlm. 78.
[23] Ibid, lihat juga sari kuliah karya M. Hasbi Ash Shiddieqy, hlm 22 dan Ushul Fikih karya Badrun Abu Al-‘Inain, hlm 175.
[25] Badrun Abu Al-‘Ina’in Badrun, Ushul Fiqh Al-Islami, Iskandaria, hlm 178.
[26] ibid.

[27] Contoh dari ke-3 dari metode assabru wa taqsîm adalah dalam penentuan 'illat perwalian nikah bagi perempuan. Dalam pencarian 'illat ini mujtahid menganggap perwalian harta anak yatim sebagai ashl, dan perwalian nikah sebagai furu'nya. dalam an-nisa ayat 6 disebutkan
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
              “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.
                Dari ashl lalu yang dilakukan mujtahid adalah dengan mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada keduanya. sifat yang sama antara keduanya adalah; 1) bikr (perawan), 2) belum balig, atau 3) belum dewasa.  Pengumpulan sifat inilah yang disebut takhrijul manath. Setelah mengumpulkan sifat yang ada pada ashl dan furu', Mujtahid hendaknya melakukan metode yang ke-2 yakni tanqihul manath. Dari ke-3 sifat di atas, manakah yang menjadi 'illat, apakah perawan, anak kecil, atau belum dewasa. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa para wali mujbir boleh menikahkan anak kecil wanita tanpa persetujuan anak itu, namun pendapat ini tidak didasarkan pada nash yang menerangkan 'illatnya. Karena itu para mujtahid meneliti sifat-sifat yang mungkin dijadikan 'illatnya seperti yang disebutkan dia atas. Sedangkan 'illat dalam perwalian harta anak yatim disebutkan dalam ayat 6 surat an-Nisâ'   dalam ayat tersebut disebutkan bahwa tidak dewasa dapat dijadikan 'illat seorang wali menguasai harta seorang yatim yang belum dewasa. Setelah dipilih satu dari tiga sifat di atas, maka kedua sifat yang dianggap tidak sesuai itu dibuang. Penyeleksian inilah yang disebut tanqihul manath.
Adapun penetapan ulama' mengenai sifat belum dewasa itu sebagai 'illat kebolehan wali mujbir menikahkan anak perempuan yang berada di bawah perwaliannya tanpa seizinnya  (karena diqiyaskan pada perwalian harta anak yatim) merupakan metode tahqiqul manath.

[28] Kamus besar bahasa indonesia
[29]  Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, cet-14 (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal  935.
[30] Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Imani. Cet-1, 1989, hal 380.
[31] Ibid,
[32] Ibid,
[33] Shahih bukhari, no. 1080.
[34]  Lutfi Abdullah Ismail, Ayat-Ayat Hukum, cet-1, Bangil; Pustaka Elbina, 2000. Hlm 95.
[35] HR. al Baihaqi III/152 dan Ahmad II/83, sanadnya shahih, lihat al-Irwa’ no. 577
[36] Lutfi abdullah ismail, ayat-ayat hukum, cet-1, Bangil; pustaka elbina, 2000. Hlm 95
[37] Ibn Hajar al-Asqolani, Fath Al-Bari, jilid 3, kairo: dâr abu hayyan, cet-1. 1996. Hlm. 687.
[38] Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Imani. Cet-1, 1989, hal 378.
[39] Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Imani. Cet-1, 1989, hal 373.
[40] Ibid, hal 378
[41] Ibid, hlm 678.
[42] Ibid, hal. 337
[43] Ibid,
[44] Ibid ,
[45] A. Qadir Hasan, Kata Berjawab, Surabaya: Pustaka Progresif. Cet-2. Hlm 82.
[46] Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Imani. Cet-1, 1989. Hlm pendahuluan. Ixiii
[47] Idem, hlm. 374
[48] Badrun Abu Al-‘Ina’in Badrun, Ushul Fiqh Al-Islami, Iskandaria. (tanpa tahun terbit)

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut

About

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Pages - Menu

Jumat, 15 Juni 2012

Analisis 'Illat Safar


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Syari’at Islam sebagaimana tertuang dalam al-qur’an dan as-sunnah yang saat itu ‘ditaqdirkan’ turun di jazirah Arab, terkadang menimbulkan pertanyaan, apakah teks/nash yang tercantum itu steril dari kondisi saat turunnya nash dan nilai-nilai budaya lokal ataukah ada daya tarik menarik antara syari’at dengan budaya setempat? Atau Islam sedikit menarik ulur budaya-budaya lokal yang kemudian disesuaikan dengan Islam itu sendiri, ataukah antara keduanya berada dalam ruang terpisah sehingga penggunaan syari’at dapat kita ‘comot’ tanpa batas?
Perbincangan Islam Versus budaya[1] agaknya telah menjadi buah bibir masyarakat utamanya para pemikir. Pembacaan sosio-historis terhadap dinamika perkembangan fikh sangatlah penting, karena hubungan fikh dan realitas sosial bersifat saling terkait.[2] Oleh karenya, perkembangan zaman seolah menuntut teks yang tertera dalam nash tidak dapat ‘dicomot’ langsung dengan alasan perbedaan situasi dan kondisi pada masa Nabi  saw dengan kondisi saat ini. Sama halnya mengenai penentuan ‘illat safar, apakah ‘illatnya masyaqqoh (kesulitan) dengan alasan perbedaan zaman Nabi dengan zaman sekarang dimana kemajuan teknologi semakin pesat, kendaraan telah banyak tersedia dengan kecepatan dan kenyamanan yang tak lagi diragukan sehingga safar yang dilakukan Nabi dahulu dianggap tidak lagi bermasyaqqoh di masa ini.
Perbandingan perjalanan Makkah-Madinah yang dulunya menggunakan unta membuat perjalanan ditempuh dengan waktu yang tidak dapat dikatan sebentar. Belum lagi perjalanan yang ditempuh melawati  padang pasir dengan terik matahari yang menyengat di siang hari dan dingin yang mencekam di malam hari sehingga dalam perjalanan Makkah-Madinah akan sangat memungkinkan musafir mengalami masyaqqoh.
Berbeda dengan dua abad terakhir ini kendaraan sudah sangat beragam dan perjalanan dapat ditempuh dengan waktu yang relatif singkat. Kendaraan yang digunakan juga tersedia berbagai fasilitas yang memanjakan musafir, misalnya fasilitas AC yang menjadikan gurun pasir dan panasnya metahari tidak lagi dirasakan musafir yang melakukan perjalanan,  musafir cukup duduk manis menunggu kendaraan yang dinaiki sampai tempat tujuan. Hal ini jelas berbeda dengan yang dialami Rasulullah dan para sahabat ketika melakukan safar, fasilitas yang tersedia ini dirasa sangat memanjakan para musafir, oleh karenanya hal ini dianggap tidak akan menimbulkan masyaqqoh.
Rupa-rupanya, alasan inilah (perbedaan fasilitas zaman Nabi dan zaman berikutnya) yang kemudian ulama berbeda-beda pendapat tentang ‘illat safar. Sebagian ulama menetukan ‘illat safar adalah masyaqqoh (karena adanya kesempitan/kesusahan yag dirasakan musafir), bukan safar itu sendiri. Di sisi lain ada ulama yang berpendapat ‘illat safarnya adalah safar itu sendiri sebagaimana yang tertera dalam nash al-Qur’an dan hadits yang didalamnya tidak pernah menyebutkan masyaqqoh sebagai sebab seseorang boleh mengambil rukhshoh (keringanan). Kelompok ke dua ini nenganggap safar itu sendiri yang menjadi ‘illat safar, dan masyaqqoh dianggap sebagai hal yang harus dihindari sebelum masyaqqoh itu terjadi. Dengan kata lain masyaqqoh jangan sampai terjadi baru kemudian musafir diperbolehkan mengambil rukhshoh. Sedangkan menolak mafsadah dan mendatangkan masalahah merupakan hikmah syari’at, bukan sebagai ‘illat.
Kedua perbedaan inilah yang menjadi latar belakang penulis menyusun karya ilmiah ini. Apakah perbedaan situasi dan kondisi yang Nabi dan para sahabat alami dengan kondisi saat ini juga akan merubah ‘illat safar itu sendiri, menginagt adanya kaidah yang menyatakan bahwa perubahan hukum bisa terjadi karena berubahnya zaman dan tempat atau bahkan definisi serta jarak safar yang tertera dalam nash sudah tidak berlaku lagi, dalam arti; dalam kondisi yang serba mudah sekarang ini, masih relevankah nash-nash yang berbicara menganai safar dimana jarak yang tertera dalam nash dirasa sangat dekat dan mudah dijangkau? Dimana penulis akan mencoba mencari ‘illat safar dengan pendekatan nalar ta’lily.
 BAB II
‘ILLAT AL-HUKM
A.    Definisi ‘Illat al-Hukm
Illat, bersal dari bahasa arab عَلّ يَعِلُّ عَلًّا وعَلَلَا. العلة  berarti penyakit, dan عِلَلٌ (‘ilalun)  bentuk jama dari al-‘illat yang berarti sebab.[5] Secara etimologi, ‘illat berarti sesuatu  yang karena keberadaannya maka hukum menjadi ada. Dinamakan ‘illat karena ia merupakan penyakit.[6] ‘Illat juga disebut perkara yang  memunculkan hukum, berupa tasyri’(pensyariatan suatu hukum). Ada pula yang berpendapat bahwa ‘Illat adalah  dalil, tanda dan yang memberitahu adanya hukum. ‘Illatlah yang membangkitkan tegaknya sebagian hukum yang memiliki ‘illat.
'Illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal (pokok) yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada furu’ (cabang) yang belum ditetapkan hukumnya.[7] Menurut Abd Abd Rahman, ‘illat secara etimologi juga disebut sebagai sebab. Dan ada pula yang memaknai ‘illat itu sebagai penyakit. Disebut penyakit karena penyakitlah yang dapat membuat kondisi tubuh berubah. Sebagaimana halnya ‘illat yang ada-tidaknya dapat membuat hukum bisa berubah.[8] Contohnya seperti sabda nabi mengenai anjuran berjenggot  agar dapat membedakan antara style orang Yahudi dengan orang Muslim, saat itu orang-orang Majusi banyak memanjangkan kumis dan memotong jenggotnya. Oleh karenanya Nabi memerintahkan sahabat untuk memelihara jenggot mereka agar bisa membedakan antara orang Yahudi  dengan  orang Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
Potonglah kumis, panjangkan janggut, selisihilah kaum majusi”. (HR Muslim)
Dari penjelasan di atas dapat difahami bahwa perintah Nabi saat itu terdapat ‘illat (sebab hukum), yaitu untuk membedakan antara muslim dengan orang Majusi. Jika suatu hukum disandarkan pada ‘illat, maka ketika ‘illat-nya hilang berarti hukumnya pun berubah, hal ini sejalan dengan kaidah الحكم يدور مع عللته وجودا وعدما (ada tidaknya hukum tergantung dengan ada tidaknya ‘illat). Seperti yang kita ketahui saat ini bahwa orang-orang Yahudi tidak lagi membiarkan kumisnya sebagai ‘ciri’ ke-Yahudiannya, maka perintah memanjangkan jenggot pun berubah. Dari yang bersifat anjuran menjadi pilihan (mubah) karena ‘illatnya pun berubah.
Perbedaan ulama’ mengenai definisi ‘illat :
1.   Jumhur Ulama’ Madzhab Hanafi, sebagian besar Madzhab Hanafi dan Imam Al-Baisadawi (salah seorang Ulama’ Madzhab Syafi’i) mengatakan bahwa ‘illat sebagai suatu sifat pengenal hukum, apabila terdapat ‘illat suatu kasus, maka ‘illat pun ada.[9]
2.   Menurut al-Baidawi, sebagian ulama hanafiah dan sebagian ulama Hanabilah mendefinisikan ‘illat hukum adalah suatu sifat yang berfungsi sebagai pengenal bagi suatu hukum. Jadi, dimana ada ‘illat disitu ada hukum, karena dengan keberadaan ‘illat itulah hukum bisa diidentifikasi. [10]
3.   Menurut al-Amidi dan Ibn al-Hajib, ‘illat adalah suatu sifat yang jelas dan konsisten, yang dengannya tujuan syari’at akan tercapai baik untuk memperoleh kemaslahatan ataupun menolak kemadharatan.[11]
4.   Abd Al-Wahhah Khallaf mendefinisikan ‘illat sebagai sifat yang terdapat dalam hukum asal yang digunakan sebagai dasar hukum. Seperti  khamr, yang memiliki sifat memabukkan. Jadi, sifat (‘illat) memanbukkan ini yang menjadi dasar diharamkannya khamr. Dengan sifat ini dapat diambil hukum bahwa setiat yang memabukkan itu haram.[12]
5.   Dr. Yusuf Qardhawi memahami ‘illat sebagai sifat (deskripsi) yang tampak, yang tetap, yang dapat dibatasi dan didefinisikan oleh setiap mukallaf. [13]
6.   ‘illat adalah sifat yang ada pada ashal, yang dengan sifet itulah hukum di tegakkan dan dengan sifat itulah diketahui berwujud hukum pada furu’.[14]
7.   Syaikh khudhari biek mendefinisikan ‘illat dengan dua pengertian;
1. Hikmah yang timbul di atas pembentukan hukum, yaitu maslahah,
2. Kerusakan yang dikehendaki penolakannya atau pengurangannya. [15]
Dari sekian definini ‘illat yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa ‘illat adalah pengenal hukum sifatnya jelas, konsisten, dan sesuai dengan maqashid syari’ah.[16] Hampir semua ulama ushul sepakat bahwa ‘illat menjadi sifat yang menjadi petunjuk adanya hikmah syari’at. Karena memang tujuan syari’at adalah mendatangkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.
B.     Kedudukan ‘Illat dalam Hukum
Dalam menentukan hukum, tidak semua dalil yang berkaitan dengan hukum menyebutkan ‘illat. Bahkan ada beberapa hukum yang tidak memilki ‘illat. Jadi nash hukum itu ada dua macam;
1.      Nash hukum yang tidak memiliki ‘illat, yakni keberadaan hukum  tidak sidasarkan pada ‘illat, hukum yang demikian ini disebut dengan hukum ta’abbudi, yakni hukum yang harus dilaksanakan dengan penuh ketaatan pada pemilik hukum, Allah swt. Oleh karenanya hukum yang demikian ini tak akan pernah berubah karena hanya Allah dan Rasul-Nya lah yang memilki otoritas pengubahan hokum tersebut. Contoh hukum ta’abbudi ini antara lain mengenai hukum larangan mengkonsumsi daging babi. Dalam larangan ini, Syari’ tidak menyebutkan adanya ‘illat. Adapun mengenai pendapat yang menyatakan bahwa babi itu mengandung cacing pita yang sangat banyak dan dapat menimbulkan dampak negatif  pada kesehatan juga tidak dapat dikatakan sebagai ‘illat. Pendapat yang demikian bukanlah ‘illat, tapi ia lebih merupakan hikmah hukum. (mengenai perbedaan antara ‘illat al-hukm dengan hikmah hukum lebih jelasnya akan dibahas di tema selanjutnya).
2.      Nash yang terdapat ‘illat. Jika nash tersebut memiliki ‘illat maka ada tidaknya hukum bergantung pada ada tidaknya ‘illat yang menjadi dasar hukum. Jadi  hukum itu bisa berubah sesuai dengan ada tidaknya ‘illat. Dalam menetapkan hukum manusia diberi keluasan untuk menentukan ada tidaknya hukum, atau berlaku tidaknya penerapan hukum tersebut. Oleh karena itu, hukumnya pun sangat mungkin mengalami perubahan sesuai dengan kondisi waktu, zaman, dan tempat karena mungkin ‘illat-nya juga berubah, sebagaimana kaidah “perubahan fatwa dapat disebabkan perubahan zaman, tempat, keadaan, kebiasaan, dan niat (motivasi)”. Juga berdasarkan kaidahلاينكرتغيرالاحكام بتغيرالازما (tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman).
Dari penjelasan diatas, kita dapat menyimpulakan bahwa kedudukan ‘illat dalam penerapan hukum sangat erat dan penting. Dimana ada tidaknya ‘illat akan mempengaruhi ada tidaknya hukum, seperti kaidah الحكم يدور مع عللته وجودا وعدما . dengan kata lain, perubahan ‘illat secara otomatis hukum juga berubah.
C.    Karakter ‘Illat
Beberapa kriteria ‘illat;
1.      Sifat 'illat itu hendaknya nyata[17], masih terjangkau akal dan pancaindera.[18] Hal ini diperlukan karena 'illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada fara' (cabang). Seperti sifat menghabiskan harta anak yatim, terjangkau oleh pancaindera dan akal, bahwa 'illat itu ada pada memakan harta anak yatim ( sebagai ashal) dan terjangkau pula oleh pancaindera dan akal bahwa 'illat itu ada pada menjual harta anak yatim (sebagai fara'). Contoh lain, sifat memabukkan pada hukum khamr (sebagai asal yang ‘illat-nya jelas), dapat diterapkan pada furu’nya, misalnya sabu-sabu dengan sifat yang sama yakni memabukkan. Jika sifat 'illat itu samar-samar, kurang jelas dan masih ragu-ragu, tentulah tidak dapat digunakan untuk menetapkan ada dan tidaknya hukum pada ashal.
2.      Sifat 'illat itu hendaklah pasti,[19] tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa 'illat itu ada pada furu',[20] karena asas qiyas itu adalah adanya persamaan illat antara ashal dan fara'.[21] Seperti pembunuhan sengaja dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya hakekatnya adalah pasti, karena itu dapat dijadikan dasar qiyas atas peristiwa pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh penerima wasiat terhadap orang yang telah memberi wasiat kepadanya. Contah lainnya, rukshoh bagi musafir, ‘illatnya bukan karena adanya dugaan untuk menolak kesukaran, karena tidak semua orang yang sedang dalam perjalanan itu mengalami kesukaran, sukar tidaknya tergantung orang yang melakukakan perjalanan tersebut (subyektif).[22]
3.      'Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan bahwa 'illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. [23]Seperti memabukkan adalah hal yang sesuai dengan hukum haram minum khamr, karena dalam hukum itu terkandung suatu hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk.
4.      ‘illat bersifat tetap dan tidak relatif.
Contohnya orang yang membunuh pewaris tidak boleh mendapatkan warisan darinya, namun bagaiman jika pewaris berwasiat: “Bila saya mati maka harta saya sepertiga untuk fulan bin fulan”. Kemudian si fulan membunuh si pemberi wasiat karena ingin segera mendapatkan harta wasiat tersebut. Maka dia tidak berhak mendapatkan harta itu karena illatnya sama dengan yang tadi. Jadi ‘illat-nya disini tetap, yakni membunuh.
5.      Sifat tersebut tidak dilalaikan oleh syari’at. Contohnya bila seorang ayah membunuh anaknya dengan sengaja, maka secara qiyas ayah berhak dibunuh sebagai qishash karena ‘illatnya adalah pembunuhan secara sengaja.[24] Namun illat ini dilalaikan oleh syari’at sebagaimana dalam hadits:
لَا يُقَادُ الْوَالِدُ بِالْوَلَد
Ayah tidak diqishas karena (membunuh) anaknya. (HR Tirmidzi dengan sanad jayyid).
Dari penjabaran di atas, jelaslah bahwa ‘illat haruslah bersifat nyata, jelas, dapat dijangkau akal, dan tidak subyektif (obyetktif).

D.    Masalik al-‘Illat
Dalam al-Qur’an maupun al-hadits, adakalanya ‘illat tercantum dengan jelas, dengan kata lain ‘illat itu dapat dengan mudah diketahui keberadaanya dan adakalanya sukar untuk diketahui. Untuk itu, masalikl al-‘illat atau turuk al-illat diguakan untuk mengetahui eksisitensi ‘illat baik ‘illat yang sudah jelas maupun ‘illat yang masih butuh pencarian mendalam. Musâlikul 'illat, ialah cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau 'illat dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum.  Diantara cara tersebut, ialah:
1.       Nash yang menunjukkannya, berdasarkan konteks nash. Jika dilihat berdasarkan nash tentang sifat suatu kejadian atau peristiwa yang merupakan 'illat itu ada dua macam, yaitu sharahah (jelas) dan ima' atau isyarah (dengan isyarat).
                  Dalalah sharahah, adalah petunjuk ‘illat terletak pada nash al-Qur'an atau Hadits itu sendiri. Dalalah sharahah ini ada dua macam, yakni dalalah sharahan qhat’i dan dalalah sharahah dhanni.
Dalalah sharahah yang qath'i, ialah apabila penunjukan kepada 'illat hukum itu pasti dan meyakinkan karena tidak adanya kemungkinan makna lain selain yang disebut dalam nash biasanya ditandai dengan lafadz من اجل  , لاجل , كي, dan اذن [25]seperti sabda Nabi Muhhammad SAW:
"Aku melarang kamu menyimpan daging binatang kurban tidak lain hanyalah karena banyak orang berkumpul (memerlukan). Dan (jika tidak banyak orang memerlukan) makan, simpanlah."(HR. an-Nasâ'i)
                  Pada hadits di atas diterangkan 'illat Rasulullah SAW melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban, yaitu karena banyak orang yang memerlukannya. 'Illat larangan menyimpan daging kurban itu tidak dapat ditetapkan orang lain karena sudah jelas tertera dalam teks.
                  Dalalah sharahah yang dhanni, ialah apabila penunjuk nash kepada 'illat hukum itu adalah berdasar dugaan keras (dhanni), karena kemungkinan dapat dibawa kepada 'illat hukum yang lain. Dalam dalalah sharahah in biasanya ditandai dengan huruf ba’ ب , lam ل , fa’ ف , dan in ان. Seperti firman Allah SWT dalam surat an-nisa' (4): 106 berikut:
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا
     Maka disebabkan kedhaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka"
                  Pada ayat di atas, Allah menjadikan sifat dholim sebagai 'illat diharamkannya makanan yang baik-baik bagi orang-orang Yahudi.
                  Sedangkan dalalah ima' (isyarah), ialah petunjuk yang dipahami dari sifat yang menyertainya, atau dengan perkataan lain ialah ada suatu sifat yang menyertai petunjuk itu dan sifat itu merupakan 'illat ditetapkannya suatu hukum. Jika penyertaan sifat itu tidak dapat dipahamkan demikian, maka tidak ada gunanya menyertakan sifat itu. Contohnya seperti sabda Nabi Muhammad SAW :"Seseorang tidak boleh memberi keputusan antara dua orang (yang berperkara) dalam keadaan ia sedang marah."(HR. Bukhari dan Muslim).
Teks di atas menunjukkan larangan memberi keputusan disandingkan atau disertai kata “dalam keadaan ia sedang marah”. Jadi ‘illatnya adalah sifat yang menyertainya, yaitu sifat marah. jadi ditetapkanya 'illat adalah karena adanya indikasi yang menunjukkan adanya 'illat.
2.    Sifat (‘illat) itu berdasarkan ijma' (kesepakatan mujtahid)
3.    Dengan penelitian. Penelitian yang dilakukan antara lain:
a.       Munasabah
   Munasabah adalah kesesuaian keadaan atau sifat terhadap perintah atau larangan. Kesesuaian itu haruslah dapat diterima akal, karena berhubungan dengan tujuan syari'at yakni  mengambil manfaat dan menolak kerusakan atau kemudharatan bagi manusia. Kesesuaian (munasabah) ini dibagi 3 tingkatan:
1)      Tingkat dharuri (kebutuhan primer), yakni sesuatu yang harus ada karena ia merupakan unsur utama tegaknya kamaslahatan agama dan dunia yang tanpanya kemaslahatan dunia tidak akan terwujud, karena jika kebutuhan ini tidak dilaksanakan maka akan timbul kerusakan, bertambahnya kejahatan dan hilangnya kemaslahatan. Misalnya; ibadah, makan-minum, pakaian, hukuman bagi orang-orang yang melakukan pelanggaran, dll.[26] Dalam tingkatan ini, ada 5 hal yang harus dijaga:
a)      Menjaga agama (hifzdu dîn), dimaksudkan untuk memerintahkan kaum muslimin agar menegakkan syi'ar-syi'ar Allah, seperti mendirikan shalat yang lima waktu, puasa, zakat, haji, jihad dan sebagainya. 
b)      Memelihara jiwa (hifzdu an-nafs), yakni dengan adanya larangan membunuh dan disyari'atkannya hukum  qishash.
c)      Memelihara akal (hifzdu aqli), syari'at menjamin segala keselamatan, yakni dengan melarang hal-hal yang dapat merusak akal atau hal yang dapat melemahkan akal, misalnya larangan minum khamr dan semua perbuatan yang dapat merusak akal.
d)     Memelihara keturunan (hifzdu nasl), yakni untuk menjaga silsilah nasab, oleh karenaya syari'at menganjurkan orang yang mampu untuk  segera menikah, dan adanya larangan zina juga hukuman rajam bagi pezina.
e)      Memelihara harta (hifzdu mal), misalnya ditetapkannya hukum potong tangan bagi pencuri, hukuman berat bagi perampok dan sebagainya.
2)      Tingkat hajji (yang sangat diperlukan / kebutuhan sekunder), yakni kebutuhan manusia yang dengannya dapat mempermudah manusia menjalani hidupnya dan menghilangkan kesulitan. dan jika tidak dilakukan tidak sampai mengancam jiwa, agama, harta, nasab dan akal. Sehingga dalam hukum Islam ada yang disebut rukhshoh atau keringanan yang Allah berikan untuk hamba-Nya agar tidak mengalami kesulitan. Misalnya keringan bolehnya melakukan shalat dengan duduk bagi orang yang sedang sakit, bolehnya berbuka puasa bagi musafir, dll.
3)      Tingkat tahsini (kebutuhan tersier). Kebutuhan jenis yang ketiga ini sebenarnya hanya kebutuhan yang dengannya hidup terasa nyaman dan terasa indah.  Namun jika kebutuhan tahsini tidak ada, maka kehidupan manusia tidak akan terasa sulit karena kebutuhan tahsini hanya sebagai pelangkap hidup. Tahsini adalah segala sesuatu yang baik dikerjakan, terutama yang berhubungan dengan akhlak dan susila, misalnya sopan santun, dan dalam ibadat misalnya mengerjakan perbuatan yang sunnah.
4.     Assabru wa at-taqsîm
            As sabru berarti meneliti kemungkinan-kemungkinan dan taqsim berarti menyeleksi atau memisah-misahkan. As sabru wa at-taqsim maksudnya ialah meneliti kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa atau kejadian, kemudian memisahkan atau memilih diantara sifat-sifat itu yang paling tepat dijadikan sebagai 'illat hukum. As sabru wa at-taqsim dilakukan apabila ada nash tentang suatu peristiwa atau kejadian, tetapi tidak ada nash atau ijma' yang menerangkan 'illatnya. Assabru wa taqsîm ada 3 macam; 1) takhrij al-manath, 2) Tanqîhul manath, 3) Tahqîqul manath.
a.       Takhrij al-manath adalah mencari dan mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada ashl (dasar/pokok) dan furu' (cabang). Pencarian dan pengumpulan ini dapat bersumber dari dalil, baik dalil sharih maupun dalil isyarah (ima') juga bisa bersumber dari ijmak mujtahid.  
b.       Tanqihul manath, ialah mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada furu' dan sifat-sifat yang ada pada ashal, kemudian dicari yang sama sifatnya. Sifat-sifat yang sama dijadikan sebagai 'illat, sedang sifat yang tidak sama ditinggalkan.
c.  Tahqiqul manath, yaitu metode penetapan 'illat. Maksudnya ialah sepakat menetapkan 'illat pada ashal, baik berdasarkan nash atau tidak. Kemudian 'illat itu disesuaikan dengan 'illat pada furu'.[27]
E.     Perbedaan antara Illat Al-Hukm dengan Hikmah Hukum   
Ulama sepakat bahwa Allah SWT membentuk hukum dengan tujuan untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Kemaslahatan itu adakalanya dalam bentuk mengambil manfaat (jalbul manâfi') dan adakalanya dalam bentuk menolak kerusakan dan bahaya (darul mafâsid). Kedua macam bentuk hukum itu merupakan tujuan terakhir dari pembentukan hukum yang disebut hikmah hukum. Dalam setiap pensyari’atan dapat dipastikan mengandung unsur maslahah karena tidak mungkin Allah memerintahkan sesuatu kecuali di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi yang diperintah, yaitu manusia itu sendiri. Seperti disyari’atkannya sholat, dewasa ini telah banyak diungkap nilai atau efek positif dalam sholat yang hal ini baru diungkap setelah syari’at sholat itu ada sejak empat belas abad yang lalu. Allah tidak mungkin melarang sesuatu kecuali larangan tersebut memiliki dampak negatif bagi manusia. Hanya saja kita belum mengetahui semua efek-efek disyari’atkannya suatu hukum.
Dalam proses penentuan hukum, dikalangan para mujtahid sering terlarut dalam pembahasan dan pencampuran makna ‘illat hukum dan hikmah hukum. Dengan kata lain, untuk mengklasifikasikan kategori antara ‘illat hukum dan hikmah hukum masih samar-samar sehingga terkadang atau bahkan sering terjadi pengaburan makna diantara keduanya. Jika dipilah-pilah dan diteliti kembali, antara ‘illat dan hikmah sebenarnya mempunyai karakter masing-masing. Sehingga keduanya tak bisa disamakan namun juga tak dapat dipisahkan mengingat adanya keterkaitan yang sangat erat antara syari’at dan hikmah itu sendiri karena setiap syari’at dipastikan ada hikmah yang terkandung di dalamnya.
Pentingnya kedudukan ‘illat dalam penentuan hukum menuntut adanya penjelasan dari kesamaran-kesamaran percampuran makna ‘illat dan hikmah. Oleh karena itu, untuk menentukan illat safar kita perlu membedakan karakter antara hikmah dan ‘illat terlebih dulu. Perbedaan hikmah dan ‘illat adalah:
1.      Hikmah hukum merupakan pendorong pembentukan hukum dan sebagai tujuannya yang terakhir ialah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat dengan memperoleh manfaat dan keuntungan serta terhindar dari segala macam kerusakan. Sedangkan ‘illat hukum adalah suatu sifat yang nyata dan pasti ada pada suatu peristiwa yang dijadikan dasar hukum. Contohnya, saat seseorang melakukan safar, maka ‘illatnya adalah safar itu sendiri, karena sifatnya sudah jelas dan pasti sehingga safar bisa dijadikan dasar hukum. Sedangkan orang yang mengambil rukhshah dengan alasan masyaqqah sebagai ‘illat susah diterima kerena masyaqqoh itu sifatnya subyektif, ada yang merasa safar itu masayaqqah dan ada juga yang menganggap safar itu tidak mengandung masyaqqah. Oleh karena masyaqqah itu tidak akan dirasakn semua orang yang sedang safar (subyektif) maka tidak bisa dijadikan dasat hukum. Hal ini dikarenakan masyaqqoh itu sebagai tujuan akhir, yakni sebagai hikmah hukum.
2.      ‘Illat  merupakan pemicu disyariatkannya suatu hukum, sedang hikmah adalah perkara yang menjelaskan hasil dan tujuan dari hukum. ‘Illat itu ada sebelum adanya hukum. Sedangkan hikmah adalah sebab positif dan hasil yang dirasakan kemudian setelah adanya peristiwa hukum Sebagai contoh ialah seorang musafir boleh mengqashar shalatnya, seperti mengerjakan shalat Dzuhur yang empat raka'at menjadi dua raka'at dan sebagainya. Hikmahnya ialah untuk menghilangkan masyaqqah atau madharat karena menghillangkan masyaqqah diperoleh setelah peristiwa hukum telah dilakukan.
3.      Hikmah hanya merupakan dugaan saja dan tidak dapat dijadikan dasar ada atau tidaknya hukum, sedang 'illat adalah suatu yang nyata dan pasti, seperti safar (dalam perjalanan) menyebabkan seseorang boleh mengqashar shalat. Sedangkan masyaqqah hanya sebagai dugaan yang akan dialami orang yang melakukan safar.
Dari penjelasan singkat di atas, kiranya jelas perbedaan antara ‘illat dan hikmah. Dari ini, jelaslah mana ‘illat safar itu. apakah safar itu sendiri atau masyaqqah.
F.     Perbedaan antara Illat Al-Hukm dengan Sebab
Mengenai 'illat hukum dan sebab hukum, ada yang tidak membedakannya, mereka menyamakan arti kedua istilah tersebut. Sebagian ulama lagi membedakannya, perbedaannnya adalah:
‘Illat adalah perkara yang menjadi sebab ada tidaknya suatu hukum. Sedangkan sebab adalah tanda (‘amarah) sebagai penanda adanya suatu  peristiwa hukum, seperti  tergelincirnya matahari pada siang hari merupakan sebab seorang muslim wajib mengerjakan shalat Dzuhur karena tergelincirnya matahari merupakan tanda masuknya awal waktu sholat dhuhur. Demikian pula terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Sya'ban merupakan sebab kaum muslimin besoknya mengerjakan puasa bulan Ramadlan. Terbenamnya matahari juga merupakan tanda masuknya awal waktu bulan ramadhan, oleh karenanya ia disebut sebab, bukan ‘illat.
 ‘Illat adalah pemicu disyariatkannya suatu hukum. Jadi, ‘Illat adalah sabab pensyariatan hukum, bukan sebab adanya hukum, sehingga ‘illat termasuk salah satu dalil-dalil hukum. Contohnya adalah melalaikan shalat, yang digali dari firmanAlah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Jumuah [62] :9)
Melalaikan shalat, menjadi sebab disyariatkanya suatu hukum, yaitu larangan berjual-beli ketika azan Jumat. Dengan demikiain disebut ‘illat bukan sabab. Hal ini berbeda dengan tergelincirnya matahari, tergelincirnya bukan merupakan’illat karena shalat dzuhur tidak  disyariatkan karennanya. Itu hanya merupakan tanda dimulainya waktu sholat dhuhur.

G.    Hikmah Mengetahui ‘Illat Al-Hukm
Hikmah kita mengetahui ‘illat adalah untuk mempermudah kita dalam memahami sebuah teks sehingga kita tidak terjebak pada pemahaman tekstual yang mengesankan islam sebagai agama yang ‘ketat’. Dengan mengetahui ‘illat (dan maksud syari’at) hukum islam akan menjadi hukum yang selalu relevan disegala penjuru dan sesuai dengan perkembangan zaman, dengan kata lain hukum islam itu bersifat elastis.





BAB III
A.    Definisi Safar  dan Musafir
Safar, dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah perjalanan. Safari, berarti perjalanan atau petualangan jarak jauh, suatu kegiatan ekspedisi (penyelidikan, penelitian, wisata, dsb). [28]Kata safar berasal dari bahasa arab سُفُوْرًا- سَفْرًايَسْفُرُ- سَفُرَ yang berarti bepergian.[29] Musafir, merupakan bentuk isim fa’il dari kata سفر  yang berarti orang yang melakukan perjalanan atau orang yang bepergian. Dalam hal ini, safar tidak sesederhana bepergian saja, karena yang dimaksud safar disini adalah safar yang membolehkan seseorang mengambil rukhsoh, baik itu mengqasar (meringkas) sholat atau berbuka puasa (jika puasa wajib seperti ramadhan). Oleh karenanya, dalam hal ini ulama berbeda pendapat mengenai kategori seseorang disebut safar (musafir). Kategori musafir yang diperdebatkan ulama mengenai waktu lamanya dan jarak safar.
Mengenai batas waktu musafir, Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk di dalamnya imam empat berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu. Semua ulama sepakat bahwa seorang musafir diperbolehkan mengqoshor shalat selama dia berada di perjalanan. Namun jika dia sudah sampai di tempat yang dia tuju dan tinggal beberapa hari di sana, berapa lama waktu dia masih diperbolehkan mengqoshor shalat? Dalam masalah ini terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama. Diantara pendapat-pendapatya sebagai berikut:
1.      Imam Malik dan imam Syafi’i berpendapat bahwa jika berniat untuk bermukim lebih dari 4 hari, maka tidak boleh mengqoshor shalat.[30]
2.      Abu Hanifah dan Sufyan Tsauri berpendapat bahwa jika musafir sudah berniat menetap di suatu tujuan selama 5 hari, shalatnya tanpa mengqasar.[31]
3.      Madzhab Ahmad dan Abu Daud, tetap dikatakan musafair selama tidak berniat menetap.[32] Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yaitu musafir boleh mengqoshor shalat terus menerus selama dia berniat untuk tidak menetap, walaupun itu lebih dari 4, 15 atau 20 hari.
Ulama yang lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As-Sa'di, Syaikh Utsaimin, madzhab al-Hasan, Qatadah, Ishaq dan para Ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk mengqashar shalat selama berniat untuk kembali ke kampung halamannya walaupun masih berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Pendapat ini karena tidak ada satu dalilpun yang sahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Pendapat ini berdasarkan dalil bahwa nabi pernah mengqosor sholatnya selama beliau di makkah 18,19 atau 20 hari. Sahabat Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwasannya Rasulullah saw tinggal di Makkah selama Sembilan belas hari mengqosor sholat. Mereka beragumen dengan dalil-dalil sebagai berikut :
حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكُ قَالَ: - خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مِنْ اَلْمَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ، فَكَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعْنَا إِلَى اَلْمَدِينَة .قلت أقمتم بمكة شيئا ؟ قال أقمنا بها عشرا) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ(
Anas bin malik menceritakan; “kami keluar bersama Rosulullah saw dari madinah menuju makkah, lalu beliau sholat dua raka’at dua roka’at sampai kami kembali ke madinah.”  (HR. Bukhari)[33]
 عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ فَنَحْنُ إِذَا سَافَرْنَا تِسْعَةَ عَشَرَ قَصَرْنَا وَإِنْ زِدْنَا أَتْمَمْنَا)رواه البخاري (
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam tinggal selama 19 hari sambil melakukan qashar.  Jika kami melakukan safar selama 19 hari, maka kami melakukan qashar.  Dan jika lebih dari itu, maka kami menyempurnakan shalat” (HR. Bukhari)

Diriwayatkan dari Jabir ra. Dia berkata, “Nabi saw. tinggal di Tabuk selama dua puluh hari sambil tetap mengashar shalat”(HR. Abu Dawud no. 1223, dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Sunan AbiDawud no. 1094)
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa lama watu seseorang disebut musafir tidak ditentukan. Hadits yang menyebutkan waktu tidak bisa dijadikan patokan, karena yang demikian itu hanya merupakan kejadian, bukan menerangkan batas waktu.[34]Para salafush shalih seperti Ibnu Umar, pernah bermukim di Azerbaijan selama enam bulan, selama musim salju dan beliau terus menerus shalat dua raka’at.[35]
Jadi seseorang dikatakan musafir jika seseorang bepergian atau tinggal di suatu tempat tanpa berniat untuk menetap ditempat tersebut. Adapun untuk orang yang sudah menetap dan memiliki tempat tinggal permanen (seperti seorang pelajar yang merantau ke negeri orang dan menetap beberapa tahun di sana), maka kondisi semacam ini sudah disebut mukim dan tidaklah disebut musafir.[36]
Dilihat dari segi niat, an-Nawawi mengatakan bahwa jumhur berpendapat bolehnya mengqosor sholat pada setiap bepergian yang mubah[37]. pendapat ini juga dipengangi Syafi’i dan Malik.[38] Sebagian ulama’ salaf mengatakan, bolehnya qosor sholat jika safarnya karena takut.[39] Sebagian ulama’ lainnya berpendapat boleh qosor dalam rangka mendekatkan diri pada Allah seperti safar haji, umroh, atau jihad.[40] Dan sebagian ulama lagi berpendapat boleh qosor pada setiap safar yang diniatkan sebagai ketaatan pada Allah swt. Sedangkan Abu Hanifah dan pengikutnya serta Tsauri berpendapat boleh mengqosor sholat baik safar yang dilakukan dalam rangka ketaatan atupun kemaksiatan. [41]
B.     Jarak Safar Menurut  Para Ulama’
Para ulama telah berbeda pendapat dalam menentukan jarak safar yang membolehkan untuk mengqashar shalat. Diantara pendapat ulama’ adalah sebagai berikut;
1.   Banyak ulama berpendapat bahwa jarak safar yang diperbolehkan mengqoshor shalat adalah 6 farsakh atau 48 mil (85 km).
2.   Abu Hanifah berpendapat bahwa jarak safar yang diperbolehkan untuk mengqoshor shalat adalah apabila menempuh perjalanan tiga hari tiga malam dan qosor hanya boleh dilakukan oleh orang yang bepergian sangat jauh. [42]
3.   Malik, Syafi’i, Ahmad, dan ulama lain berpendapat jarak minimalnya adalah jarak yang ditempuh selama perjalanan sehari.[43]
4.   Ulama zhahiri berpendapat jauh atau dekatnya jarak perjalanan diperbolehkan mengqosor sholat[44]. Pendapat ini sejalan dengan pernyataan Syaikh Nashiruddin Al Albani rahimahullah, ia berkata : Tidak ada batasan jarak tertentu dengan ukuran kilometer atau marahil. Karena ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan safar dalam Al-Qur`an berkaitan dengan qashar shalat ataupun kebolehan berbuka (tidak puasa) di bulan Ramadhan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan safar secara mutlak, tanpa menetapkan batasannya. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-baqoroh(2) 184 dan surat an-Nisa’(4)
...  فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
                  ….Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain….
Dalam surat an-Nisa: 101 disebutkan;
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”.

Sebagaimana dalam kitab Nailul Author penulisnya mengatakan: “Sebagian ulama-ulama Kufah, manakala hendak berpergian memilih shalat dua raka’at, meskipun masih di daerahnya. Sebagian mereka ada yang berkata :”Jika seseorang itu naik kendaraan, maka qashar saja kalau mau”. “Sesungguhnya dia mukim di Makkah dan manakala dia keluar ke Mina, dia mengqashar (shalat)”.
Hadits ini sanadnya juga shahih, dan dikuatkan. Apabila penduduk Makkah hendak keluar bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Mina, dalam haji Wada’, maka mereka mengqashar shalat juga sebagaimana sudah tidak ada lagi dalam kitab-kitab hadits. Sedangkan jarak antara Makkah dan Mina hanya satu farsakh. Ini seperti keterangan dalam Mu’jamul Buldan. Sementara itu Jibilah bin Sahim memberitahukan : “Aku mendengar Ibnu Umar berkata : “Kalau aku keluar satu mil, maka aku mengqashar shalat”. Hadits ini disebutkan pula oleh Al-Hafidz dan dinilainya shahih. Dari peristiwa dia atas, tidak ada hadits yang membatasi jarak safar.
5.      Atau yang bisa jadi patokan juga adalah jika saat safar seseorang itu butuh perbekalan ketika melakukan perjalanan. 
6.   Seseorang dapat dikatakan musafir jika telah menempuh jarak sejauh 3 mil. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas Bin Malik radhiallahu’anhu: Biasanya Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam kalau beliau keluar (melakukan perjalanan) sejauh 3 mil atau 3 farsakh beliau melakukan shalat dua rakaat. (HR. Muslim)
Dalam riwayat ini perowi ragu-ragu antara tiga mil atau tiga farsakh, namun riwayat dari ibnu umar menguatkan hadis di atas, ia berkata:
تقصرالصلاةفي مسيرةثلاثةاميال )ابن ابي شيبة(
        “Boleh diqosor sholat dalam perjalanan tiga mil”.
Cat: 1 mil = 1609 meter, 3 mil= 3x 1609 =4827 meter. Jadi 3 mil = kurang lebih 5 km. [45] Sedang 1 farsakh = 3 mil/1200 dzira’, setara dengan 5,59875 km.[46]
Selain mengenai jarak dan waktu safar, ulama juga berbeda pendapat mengenai hukum mengqosor sholat. Imam abu hanifah, pengikutnya serta ulama’ khufah berpendapat bahwa hukumnya wajib. Sebagian pengikut syafi’i membolehkan memililih antara qosor dan tidak. Sementara Syafi’i  sendiri menghukumi qosor hanya sebagai dispensasi dan tanpa qosor itu lebih baik. Berbeda lagi dengan Imam malik, Ia berpendapat hukum qosor adalah sunnah.[47]

C.    ‘Illat Safar
Dalam menentukan ‘illat safar, ulama berbeda pendapat  apakah ‘illatnya perjalan atau safar itu sendiri ataukah masyaqqah. Sebagaimana halnya ulama’juga berbeda pendapat mengenai jarak minimal safar untuk seseorang diperbolehkan mengqosor sholat. Ada yang mengatakan jarak seorang dkatakan musafir jika telah menempuh jarak 85 km. ada juga yang mengatakan jika perjalanan ditempuh tiga hari barulah seseorang dikatakan musafir. Perbedaan pendapat mengenai jarak ini muncul setelah zaman para sahabat atas dasar adanya masyaqqoh karena kesulitan yang dialami nabi dan para sahabat berbeda dengan kesulitan yang ditempuh saat itu yang jika yag menjadi ukuran adalah jarak. Dengan kata lain, pertimbangan masyaqqohlah yang menyebabkan perbedaan pendapat dalam menentukan jarak safar. 
Namun demikian, penjelasan-penjelasan sebelumnya penulis sudah memaparkan kriteria-kriteria ‘illat dan apa perbedaan antara ‘illat dengan hikmah. Dalam keterangan di atas, penulis telah menyebutkan bahwa ‘illat safar adalah safar atau perjalanan itu sendiri, sedangkan masyaqqah bukan merupakan ‘illat melainkan sebagi hikmah yang diperoleh setelah peristiwa hukum dilaksanakan. Fuqaha' mengatakan: hikmah diperbolehkannya berbuka puasa pada bulan Ramadhan adalah menolak masyaqqah bagi orang yang sakit dan safar.[48] Hal ini secara eksplisit telah ditunjukkan nabi dalam sabdanya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكُ قَالَ: - خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مِنْ اَلْمَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ، فَكَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعْنَا إِلَى اَلْمَدِينَةمُتَّفَقٌ عَلَيْهِ(
Anas Bin Malik menceritakan; “ kami pernah keluar (safar) bersama Rasulullah saw dari madinah ke makkah, dan beliau sholat dua raka’at hingga kami kembali ke madinah” (Muttafaq ‘Alaih)

Dari hadits ini menerangkan bahwa nabi tetap mengqosor sholat meski telah sampai ditempat tujuan. Dan dalam hadits ini juga tidak menerangkan bahwa nabi dalam keadaan kesulitan sehingga mengharuskan beliau mengambil rukhshoh karena adanya masyaqqoh. Dalam riwayat lain nabi juga bersabda:
 عَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَمْرٍو الأَسْلَمِىِّ أَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : إِنِّى أَجِدُ بِى قُوَّةً عَلَى الصِّيَامِ فِى السَّفَرِ فَهَلْ عَلَىَّ جُنَاحٌ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« هِىَ رُخْصَةٌ مِنَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَمَنْ أَخَذَ بِهَا فَحَسَنٌ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصُومَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ ».) رواه مسلم(
Dari Hamzah Bin Amr Al-Aslami bahwasannya ia berkata: ya Rasulullah, saya mampu berpuasa ketika safar, apakah saya berdosa  (jika saya berpuasa)? Lalu Rasulullah saw bersabda: ia (berbuka) adalah rukhshoh dari Allah, barangsiapa yang mengambil rukhshohNya maka itu baik. Dan barangsiapa suka berpuasa, maka tidak ada dosa baginya.” (HR. Muslim)

Hadits di atas menerangkan bolehnya seseorang yang mampu (kuat) melanjutkan puasanya saat safar itu dibolehkan. Seandainya masyaqah yang menjadi ‘illat (motivasi hukum), tentu nabi akan mewajibkan sahabat yang bertanya tersebut untuk tetap berpuasa karena mengaku masih sanggup berpuasa. Pertanyaan sahabat “apakah saya berdosa  (jika saya berpuasa)?” dan jawaban nabi: “ia (berbuka) adalah rukhshoh dari Allah, barangsiapa yang mengambil rukhshohNya maka itu baik”, menunjukkan bahwa berbuka puasa adalah rukhshoh yang Allah berikan pada hamba-Nya yang melakukan safar. Dan jawaban nabi: “barang siapa suka berpuasa, maka tidak ada dosa baginya” menunjukkan boleh berbuka tanpa syarat apapun (masyaqoh).Sedangkan musafir yang memaksakan diri tetap berpuasa padahal puasa itu dirasa berat baginya, nabi menyebutnya sebagai orang yang durhaka. Sebagaimana sabdanya:
عَنْ جَابِرٍ : أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ إِلَى مَكَّةَ عَامَ الْفَتْحِ فِى رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ وَصَامَ النَّاسُ مَعَهُ فَقِيلَ لَهُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ النَّاسَ قَدْ شَقَّ عَلَيْهِمُ الصِّيَامُ فَدَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ بَعْدَ الْعَصْرِ فَشَرِبَ وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ فَأَفْطَرَ بَعْضُ النَّاسِ وَصَامَ بَعْضٌ فَبَلَغَهُ أَنَّ أُنَاسًا صَامُوا فَقَالَ :« أُولَئِكَ الْعُصَاةُ ».

 “Bahwasannya pada bulan ramadhan Rasulullah keluar pada tahun kemenangan menuju makkah. Lalu beliau dan orang-orang berpuasa hingga sampai di kura’ul ghanim, kemudian ia meminta sekendi air lalu ia angkatnya hingga orang-orang melihatnya, lalu ia minum. Lalu dikatakan padanya : sesungguhnya sebagian orang berpuasa, lalu nabi menjawab: mereka itu durhaka, mereka itu durhaka.” (HR. Muslim)
عَنْ جَعْفَرٍ بِهَذَا الإِسْنَادِ وَزَادَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ شَقَّ عَلَيْهِمُ الصِّيَامُ وَإِنَّمَا يَنْظُرُونَ فِيمَا فَعَلْتَ. فَدَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ بَعْدَ الْعَصْرِ.
"Dari Ja’far dengan sanad ini dan Ia menambahkan. Lalu dikatakan padanya sesungguhnya orang-orang telah kepayahan berpuasa, dan mereka hanya mununggu tindakan engkau. maka ia minta sekendi air sesudah ashar, lalu ia minum. (HR. Muslim).
Dari penjelasan yang disertai dalil-dalil di atas, melaksanakn rukhshoh baik mengqoshor shalat, berbuka puasa, dan menjama’ sholat (taqdim atau ta’khir) tetap boleh dilakukan walaupun safar yang dilakukan penuh kemudahan.  Keringanan qoshor shalat itu ada karena melakukan safar dan bukan karena alasan mendapat kesulitan. Bolehnya melakukan/ mengambil rukhshoh yang Allah berikan dikaitkan dengan safar dan bukan dikaitkan dengan kesulitan. Sehingga walaupun safar yang ditempuh penuh kemudahan, tetap masih diperbolehkan untuk mengqoshor shalat. Oleh karenanya ‘illat safar adalah safar itu sendiri, sedangkan masyaqoh adalah hal yang harus dihindari agar kita memperoleh kemudahan.Dan kemudahan atau maslahat yang kita dapati setelah melakukan peristiwa hukum bukanlah disebut ‘illat, melainkan hikmah hukum seperti yang telah dipeparkan di atas, mengenai perbedaan ‘illat dan hikmah. Allah juga telah menegaskan dalam firmanNya bahwa Islam itu agama yang mudah, tidak mempersulit.
              

BAB IV
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Safar adalah perjalanan yang ditempuh dengan jarak minimal 3mil atau setara dengan kurang lebih 5km selama tidak ada niat untuk menetap. Jadi seseorang dikatakan musafir jika ia bepergian atau tinggal disuatu tempat tanpa berniat untuk menetap ditempat tersebut tanpa batas waktu. Adapun untuk orang yang sudah menetap dan memiliki tempat tinggal permanen, maka kondisi semacam ini sudah disebut mukim dan tidaklah disebut musafir. 
Adapun ‘illat safarnya adalah bepergian itu sendiri tanpa mensyaratkan adanya masyaqqoh yang dialami musafir. Pendapat ini didasarkan pada  jelasnya ‘illat yang tertera dalam ayat (‘illatnya diambil dari nash yang sharih). Di sisi lain, penulis tidak menemukan dalil baik dalam Qur’an maupun hadits yang menjelaskan keumuman ayat-ayat mengenai safar ‘illat safar yang berupa maysaqqoh. Adapun masyaqqoh yang dianggap ‘illat, sebenarnya merupakan hikmah disyari’atkannya suatu hukum yang timbul setelah peristiwa hukum dilaksanakan. Selain itu, salah satu kriteria ‘illat adalah pasti, bukan subyektif. Sedangkan masyaqqoh itu sifatnya subyektif.


[1] Khoiriyah, M.Ag, Islam dan logika modern, cet 1. Yogyakarta: Ar-ruzz media. 2008.
[2] Muhsin hariyanto, memahami nalar fikih: dari teks menuju konteks. Tanpa cetak.
[3] Kesesuaian pendapat Ulama’ tentang hukum agama.
[4] Defkriptif berarti menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, dan untuk menentukan frekuensi  atua penyebaran suatu gejalaadanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Analisis adalah jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan pemerincian obyek yang diteliti dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu denga yang lainnya untuk memperoleh kejalasan mengenai halnya.
[5] Ahmad Warson Munawwir, Al-munawwir, cet-14 (surabaya: pustaka progresif, 1997), hlm 965.
[6] Badrun Abu Al-‘Ina’in Badrun, ushul fiqh al-islami, Iskandaria.
              [7] Muhsin Hariyanto, Hand-Out Kuliah Pengantar Hukum Islam/PUTM, tidak dicetak, hlm 1
[8] Hasbi umar, Nalar fiqih kontemporer, cet. Ke-1 (jakarta; gaung persada press, 2007), hlm 78.
[9] H. Asjmini Abdurrahman,Memahami Makna Tekstual, Kontekstual Dan Liberal, Cet. Ke-2 (Yogyakarta; suara muhammadiyah, 2008), hlm. 27.
[10] Hasbi umar, Nalar Fiqih Kontemporer, Cet. Ke-1 (Jakarta; Gaung Persada Press, 2007), hlm 76.
[11] Ibid, hal 77.
[12] . ibid
[13] Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer. Surabaya: Risalah Gusti, 2009, hal 106.
[14] T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sari Kuliah Ushul Fiqih, Yogyakarta: Ramadhani Sala, 1977, hal 21.
[15] Syaikh Muhammad Al-Khudhari Beik, Ushul Fikih, (Jakarta; Pustaka Amani, 2007),  hlm 659.
[16] Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, cet. Ke-1 (Jakarta; Gaung Persada Press, 2007), hlm 77.
[17] T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sari Kuliah Ushul Fiqih, Yogyakarta: Ramadhani Sala, 1977,  hlm 22.
[18] Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, cet. Ke-1 (Jakarta; Gaung Persada Press, 2007), hlm 78.
[19] Ibid,
[20] T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sari Kuliah Ushul Fiqih, Yogyakarta: Ramadhani Sala, 1977, hlm 22.
[21] Badrun Abu Al-‘Ina’in Badrun, Ushul Fiqh Al-Islami, Iskandaria. Hlm 174.
[22] Hasbi umar, Nalar Fiqih Kontemporer, Cet. Ke-1 (Jakarta; Gaung Persada Press, 2007), Hlm. 78.
[23] Ibid, lihat juga sari kuliah karya M. Hasbi Ash Shiddieqy, hlm 22 dan Ushul Fikih karya Badrun Abu Al-‘Inain, hlm 175.
[25] Badrun Abu Al-‘Ina’in Badrun, Ushul Fiqh Al-Islami, Iskandaria, hlm 178.
[26] ibid.

[27] Contoh dari ke-3 dari metode assabru wa taqsîm adalah dalam penentuan 'illat perwalian nikah bagi perempuan. Dalam pencarian 'illat ini mujtahid menganggap perwalian harta anak yatim sebagai ashl, dan perwalian nikah sebagai furu'nya. dalam an-nisa ayat 6 disebutkan
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
              “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.
                Dari ashl lalu yang dilakukan mujtahid adalah dengan mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada keduanya. sifat yang sama antara keduanya adalah; 1) bikr (perawan), 2) belum balig, atau 3) belum dewasa.  Pengumpulan sifat inilah yang disebut takhrijul manath. Setelah mengumpulkan sifat yang ada pada ashl dan furu', Mujtahid hendaknya melakukan metode yang ke-2 yakni tanqihul manath. Dari ke-3 sifat di atas, manakah yang menjadi 'illat, apakah perawan, anak kecil, atau belum dewasa. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa para wali mujbir boleh menikahkan anak kecil wanita tanpa persetujuan anak itu, namun pendapat ini tidak didasarkan pada nash yang menerangkan 'illatnya. Karena itu para mujtahid meneliti sifat-sifat yang mungkin dijadikan 'illatnya seperti yang disebutkan dia atas. Sedangkan 'illat dalam perwalian harta anak yatim disebutkan dalam ayat 6 surat an-Nisâ'   dalam ayat tersebut disebutkan bahwa tidak dewasa dapat dijadikan 'illat seorang wali menguasai harta seorang yatim yang belum dewasa. Setelah dipilih satu dari tiga sifat di atas, maka kedua sifat yang dianggap tidak sesuai itu dibuang. Penyeleksian inilah yang disebut tanqihul manath.
Adapun penetapan ulama' mengenai sifat belum dewasa itu sebagai 'illat kebolehan wali mujbir menikahkan anak perempuan yang berada di bawah perwaliannya tanpa seizinnya  (karena diqiyaskan pada perwalian harta anak yatim) merupakan metode tahqiqul manath.

[28] Kamus besar bahasa indonesia
[29]  Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, cet-14 (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal  935.
[30] Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Imani. Cet-1, 1989, hal 380.
[31] Ibid,
[32] Ibid,
[33] Shahih bukhari, no. 1080.
[34]  Lutfi Abdullah Ismail, Ayat-Ayat Hukum, cet-1, Bangil; Pustaka Elbina, 2000. Hlm 95.
[35] HR. al Baihaqi III/152 dan Ahmad II/83, sanadnya shahih, lihat al-Irwa’ no. 577
[36] Lutfi abdullah ismail, ayat-ayat hukum, cet-1, Bangil; pustaka elbina, 2000. Hlm 95
[37] Ibn Hajar al-Asqolani, Fath Al-Bari, jilid 3, kairo: dâr abu hayyan, cet-1. 1996. Hlm. 687.
[38] Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Imani. Cet-1, 1989, hal 378.
[39] Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Imani. Cet-1, 1989, hal 373.
[40] Ibid, hal 378
[41] Ibid, hlm 678.
[42] Ibid, hal. 337
[43] Ibid,
[44] Ibid ,
[45] A. Qadir Hasan, Kata Berjawab, Surabaya: Pustaka Progresif. Cet-2. Hlm 82.
[46] Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Imani. Cet-1, 1989. Hlm pendahuluan. Ixiii
[47] Idem, hlm. 374
[48] Badrun Abu Al-‘Ina’in Badrun, Ushul Fiqh Al-Islami, Iskandaria. (tanpa tahun terbit)

 
Template Indonesia | Goresan Tinta Malam
Aku cinta Indonesia