Jumat, 15 Juni 2012
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
BAB II
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Syari’at Islam sebagaimana tertuang dalam al-qur’an dan as-sunnah
yang saat itu ‘ditaqdirkan’ turun di jazirah Arab, terkadang menimbulkan
pertanyaan, apakah teks/nash yang tercantum itu steril
dari kondisi saat turunnya nash dan nilai-nilai budaya lokal
ataukah ada daya tarik menarik antara syari’at dengan budaya setempat? Atau
Islam sedikit menarik ulur budaya-budaya lokal yang kemudian disesuaikan dengan
Islam itu sendiri, ataukah antara keduanya
berada dalam ruang terpisah sehingga penggunaan syari’at dapat kita ‘comot’
tanpa batas?
Perbincangan Islam Versus budaya[1] agaknya telah menjadi buah
bibir masyarakat utamanya para pemikir.
Pembacaan sosio-historis terhadap dinamika perkembangan fikh sangatlah penting,
karena hubungan fikh dan realitas sosial bersifat saling terkait.[2]
Oleh karenya, perkembangan
zaman seolah menuntut teks yang tertera dalam nash tidak dapat ‘dicomot’
langsung dengan alasan perbedaan situasi dan kondisi pada masa Nabi saw dengan kondisi saat ini. Sama halnya
mengenai penentuan ‘illat safar, apakah ‘illatnya masyaqqoh
(kesulitan) dengan alasan perbedaan zaman Nabi dengan zaman sekarang dimana
kemajuan teknologi semakin pesat, kendaraan telah banyak tersedia dengan
kecepatan dan kenyamanan yang tak lagi diragukan sehingga safar yang dilakukan
Nabi dahulu dianggap tidak lagi bermasyaqqoh di masa ini.
Perbandingan perjalanan Makkah-Madinah yang dulunya menggunakan
unta membuat perjalanan ditempuh dengan waktu yang tidak dapat dikatan
sebentar. Belum lagi perjalanan yang ditempuh melawati padang pasir dengan terik matahari yang
menyengat di siang hari dan dingin yang mencekam di malam hari sehingga dalam
perjalanan Makkah-Madinah akan sangat memungkinkan musafir mengalami masyaqqoh.
Berbeda dengan dua abad terakhir ini kendaraan sudah sangat beragam
dan perjalanan dapat ditempuh dengan waktu yang relatif singkat. Kendaraan yang
digunakan juga tersedia berbagai fasilitas yang memanjakan musafir, misalnya
fasilitas AC yang menjadikan gurun pasir dan panasnya metahari tidak lagi
dirasakan musafir yang melakukan perjalanan,
musafir cukup duduk manis menunggu kendaraan yang dinaiki sampai tempat
tujuan. Hal ini jelas berbeda dengan yang dialami Rasulullah dan para sahabat
ketika melakukan safar, fasilitas yang tersedia ini dirasa sangat memanjakan
para musafir, oleh karenanya hal ini dianggap tidak akan menimbulkan masyaqqoh.
Rupa-rupanya, alasan inilah (perbedaan fasilitas zaman Nabi dan
zaman berikutnya) yang kemudian ulama berbeda-beda pendapat tentang ‘illat
safar. Sebagian ulama menetukan ‘illat safar adalah masyaqqoh (karena
adanya kesempitan/kesusahan yag dirasakan musafir), bukan safar itu sendiri. Di
sisi lain ada ulama yang berpendapat ‘illat safarnya adalah safar itu
sendiri sebagaimana yang tertera dalam nash al-Qur’an dan hadits yang
didalamnya tidak pernah menyebutkan masyaqqoh sebagai sebab seseorang
boleh mengambil rukhshoh (keringanan). Kelompok ke dua ini
nenganggap safar itu sendiri yang menjadi ‘illat safar, dan masyaqqoh
dianggap sebagai hal yang harus dihindari sebelum masyaqqoh itu terjadi.
Dengan kata lain masyaqqoh jangan sampai terjadi baru kemudian musafir
diperbolehkan mengambil rukhshoh. Sedangkan menolak mafsadah dan
mendatangkan masalahah merupakan hikmah syari’at, bukan sebagai ‘illat.
Kedua perbedaan inilah yang menjadi latar belakang penulis menyusun
karya ilmiah ini. Apakah perbedaan situasi dan kondisi yang Nabi dan para
sahabat alami dengan kondisi saat ini juga akan merubah ‘illat safar itu
sendiri, menginagt adanya kaidah yang menyatakan bahwa perubahan hukum bisa
terjadi karena berubahnya zaman dan tempat atau bahkan definisi serta jarak
safar yang tertera dalam nash sudah tidak berlaku lagi, dalam arti; dalam
kondisi yang serba mudah sekarang ini, masih relevankah nash-nash yang
berbicara menganai safar dimana jarak yang tertera dalam nash dirasa sangat
dekat dan mudah dijangkau? Dimana penulis akan mencoba mencari ‘illat
safar dengan pendekatan nalar ta’lily.
‘ILLAT AL-HUKM
A.
Definisi ‘Illat
al-Hukm
Illat, bersal dari bahasa arab عَلّ – يَعِلُّ – عَلًّا وعَلَلَا.
العلة berarti penyakit,
dan عِلَلٌ
(‘ilalun) bentuk jama dari al-‘illat
yang berarti sebab.[5]
Secara etimologi, ‘illat berarti sesuatu yang karena keberadaannya
maka hukum menjadi ada. Dinamakan ‘illat karena ia merupakan penyakit.[6] ‘Illat
juga disebut perkara yang memunculkan hukum, berupa tasyri’(pensyariatan suatu hukum). Ada pula yang berpendapat bahwa ‘Illat
adalah dalil, tanda dan yang memberitahu adanya hukum. ‘Illatlah
yang membangkitkan tegaknya sebagian hukum yang memiliki ‘illat.
'Illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal (pokok) yang sifat
itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui
hukum pada furu’ (cabang) yang belum ditetapkan hukumnya.[7] Menurut
Abd Abd Rahman, ‘illat secara etimologi juga disebut sebagai sebab. Dan
ada pula yang memaknai ‘illat itu sebagai penyakit. Disebut penyakit
karena penyakitlah yang dapat membuat kondisi tubuh berubah. Sebagaimana halnya
‘illat yang ada-tidaknya dapat membuat hukum bisa berubah.[8] Contohnya
seperti sabda nabi mengenai anjuran berjenggot
agar dapat membedakan antara style
orang Yahudi dengan orang Muslim, saat itu orang-orang Majusi banyak
memanjangkan kumis dan memotong jenggotnya. Oleh karenanya Nabi memerintahkan
sahabat untuk memelihara jenggot mereka agar bisa membedakan antara orang
Yahudi dengan orang Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah
saw.
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا
اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
“Potonglah
kumis, panjangkan janggut, selisihilah kaum majusi”. (HR Muslim)
Dari penjelasan di atas dapat difahami bahwa
perintah Nabi saat itu terdapat ‘illat (sebab hukum), yaitu untuk
membedakan antara muslim dengan orang Majusi. Jika suatu hukum disandarkan pada
‘illat, maka ketika ‘illat-nya hilang berarti hukumnya pun
berubah, hal ini sejalan dengan kaidah الحكم يدور مع عللته وجودا وعدما (ada tidaknya hukum tergantung
dengan ada tidaknya ‘illat). Seperti yang kita ketahui saat ini bahwa
orang-orang Yahudi tidak lagi membiarkan kumisnya sebagai ‘ciri’ ke-Yahudiannya,
maka perintah memanjangkan jenggot pun berubah. Dari yang bersifat anjuran
menjadi pilihan (mubah) karena ‘illatnya pun berubah.
Perbedaan ulama’ mengenai definisi ‘illat
:
1.
Jumhur Ulama’ Madzhab Hanafi, sebagian besar
Madzhab Hanafi dan Imam Al-Baisadawi (salah seorang Ulama’ Madzhab Syafi’i)
mengatakan bahwa ‘illat sebagai suatu sifat pengenal hukum, apabila terdapat ‘illat
suatu kasus, maka ‘illat pun ada.[9]
2.
Menurut al-Baidawi, sebagian ulama hanafiah dan
sebagian ulama Hanabilah mendefinisikan ‘illat hukum adalah suatu sifat
yang berfungsi sebagai pengenal bagi suatu hukum. Jadi, dimana ada ‘illat
disitu ada hukum, karena dengan keberadaan ‘illat itulah hukum bisa
diidentifikasi. [10]
3.
Menurut al-Amidi dan Ibn al-Hajib, ‘illat
adalah suatu sifat yang jelas dan konsisten, yang dengannya tujuan syari’at
akan tercapai baik untuk memperoleh kemaslahatan ataupun menolak kemadharatan.[11]
4.
Abd Al-Wahhah Khallaf mendefinisikan ‘illat
sebagai sifat yang terdapat dalam hukum asal yang digunakan sebagai dasar
hukum. Seperti khamr, yang memiliki
sifat memabukkan. Jadi, sifat (‘illat) memanbukkan ini yang menjadi
dasar diharamkannya khamr. Dengan sifat ini dapat diambil hukum bahwa setiat
yang memabukkan itu haram.[12]
5.
Dr. Yusuf Qardhawi memahami ‘illat sebagai
sifat (deskripsi) yang tampak, yang tetap, yang dapat dibatasi dan
didefinisikan oleh setiap mukallaf. [13]
6.
‘illat adalah sifat yang ada pada ashal,
yang dengan sifet itulah hukum di tegakkan dan dengan sifat itulah diketahui
berwujud hukum pada furu’.[14]
7.
Syaikh khudhari biek mendefinisikan ‘illat
dengan dua pengertian;
1. Hikmah yang
timbul di atas pembentukan hukum, yaitu maslahah,
2. Kerusakan
yang dikehendaki penolakannya atau pengurangannya. [15]
Dari sekian
definini ‘illat yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa ‘illat
adalah pengenal hukum sifatnya jelas, konsisten, dan sesuai dengan maqashid
syari’ah.[16]
Hampir semua ulama ushul sepakat bahwa ‘illat menjadi sifat yang menjadi
petunjuk adanya hikmah syari’at. Karena memang tujuan syari’at adalah
mendatangkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.
B.
Kedudukan ‘Illat
dalam Hukum
Dalam menentukan hukum, tidak semua dalil yang
berkaitan dengan hukum menyebutkan ‘illat. Bahkan ada beberapa hukum
yang tidak memilki ‘illat. Jadi nash hukum itu ada dua macam;
1.
Nash hukum yang tidak memiliki ‘illat,
yakni keberadaan hukum tidak sidasarkan
pada ‘illat, hukum yang demikian ini disebut dengan hukum ta’abbudi, yakni
hukum yang harus dilaksanakan dengan penuh ketaatan pada pemilik hukum, Allah
swt. Oleh karenanya hukum yang demikian ini tak akan pernah berubah karena
hanya Allah dan Rasul-Nya lah yang memilki otoritas pengubahan hokum tersebut.
Contoh hukum ta’abbudi ini antara lain mengenai hukum larangan
mengkonsumsi daging babi. Dalam larangan ini, Syari’ tidak menyebutkan adanya ‘illat.
Adapun mengenai pendapat yang menyatakan bahwa babi itu mengandung cacing pita
yang sangat banyak dan dapat menimbulkan dampak negatif pada kesehatan juga tidak dapat dikatakan
sebagai ‘illat. Pendapat yang demikian bukanlah ‘illat, tapi ia
lebih merupakan hikmah hukum. (mengenai perbedaan antara ‘illat al-hukm
dengan hikmah hukum lebih jelasnya akan dibahas di tema selanjutnya).
2.
Nash yang terdapat ‘illat. Jika nash
tersebut memiliki ‘illat maka ada tidaknya hukum bergantung pada ada
tidaknya ‘illat yang menjadi dasar hukum. Jadi
hukum itu bisa berubah sesuai dengan ada tidaknya ‘illat. Dalam
menetapkan hukum manusia diberi keluasan untuk menentukan ada tidaknya hukum,
atau berlaku tidaknya penerapan hukum tersebut. Oleh karena itu, hukumnya pun
sangat mungkin mengalami perubahan sesuai dengan kondisi waktu, zaman, dan
tempat karena mungkin ‘illat-nya juga
berubah, sebagaimana kaidah “perubahan fatwa dapat disebabkan perubahan zaman,
tempat, keadaan, kebiasaan, dan niat (motivasi)”. Juga berdasarkan kaidahلاينكرتغيرالاحكام بتغيرالازما (tidak
diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman).
Dari penjelasan diatas, kita dapat
menyimpulakan bahwa kedudukan ‘illat dalam penerapan hukum sangat erat
dan penting. Dimana ada tidaknya ‘illat akan mempengaruhi ada tidaknya
hukum, seperti kaidah الحكم يدور مع عللته وجودا وعدما . dengan kata
lain, perubahan ‘illat secara otomatis hukum juga berubah.
C.
Karakter ‘Illat
Beberapa
kriteria ‘illat;
1.
Sifat 'illat itu hendaknya nyata[17],
masih terjangkau akal dan pancaindera.[18] Hal
ini diperlukan karena 'illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan
hukum pada fara' (cabang). Seperti sifat menghabiskan harta anak yatim,
terjangkau oleh pancaindera dan akal, bahwa 'illat itu ada pada memakan
harta anak yatim ( sebagai ashal) dan terjangkau pula oleh pancaindera
dan akal bahwa 'illat itu ada pada menjual harta anak yatim (sebagai fara').
Contoh lain, sifat memabukkan pada hukum khamr (sebagai asal yang ‘illat-nya
jelas), dapat diterapkan pada furu’nya, misalnya sabu-sabu dengan sifat
yang sama yakni memabukkan. Jika sifat 'illat itu samar-samar, kurang
jelas dan masih ragu-ragu, tentulah tidak dapat digunakan untuk menetapkan ada
dan tidaknya hukum pada ashal.
2.
Sifat 'illat itu hendaklah pasti,[19]
tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa 'illat itu ada pada furu',[20]
karena asas qiyas itu adalah adanya persamaan illat antara ashal
dan fara'.[21]
Seperti pembunuhan sengaja dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan
diwarisinya hakekatnya adalah pasti, karena itu dapat dijadikan dasar qiyas
atas peristiwa pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh penerima wasiat
terhadap orang yang telah memberi wasiat kepadanya. Contah lainnya, rukshoh
bagi musafir, ‘illatnya bukan karena adanya dugaan untuk menolak
kesukaran, karena tidak semua orang yang sedang dalam perjalanan itu mengalami
kesukaran, sukar tidaknya tergantung orang yang melakukakan perjalanan tersebut
(subyektif).[22]
3.
'Illat harus berupa sifat yang sesuai
dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan bahwa 'illat
itu sesuai dengan hikmah hukumnya. [23]Seperti
memabukkan adalah hal yang sesuai dengan hukum haram minum khamr, karena dalam
hukum itu terkandung suatu hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan
menghindarkan diri dari mabuk.
4.
‘illat bersifat tetap dan tidak relatif.
Contohnya orang yang membunuh pewaris tidak
boleh mendapatkan warisan darinya, namun bagaiman jika pewaris berwasiat: “Bila
saya mati maka harta saya sepertiga untuk fulan bin fulan”. Kemudian si fulan
membunuh si pemberi wasiat karena ingin segera mendapatkan harta wasiat tersebut.
Maka dia tidak berhak mendapatkan harta itu karena illatnya sama dengan yang
tadi. Jadi ‘illat-nya disini tetap, yakni membunuh.
5.
Sifat tersebut tidak dilalaikan oleh syari’at. Contohnya
bila seorang ayah membunuh anaknya dengan sengaja, maka secara qiyas
ayah berhak dibunuh sebagai qishash karena ‘illatnya adalah pembunuhan
secara sengaja.[24]
Namun illat ini dilalaikan oleh syari’at sebagaimana dalam hadits:
“لَا يُقَادُ الْوَالِدُ بِالْوَلَد”
Ayah tidak diqishas
karena (membunuh) anaknya.
(HR Tirmidzi dengan sanad jayyid).
Dari penjabaran di atas, jelaslah bahwa ‘illat
haruslah bersifat nyata, jelas, dapat dijangkau akal, dan tidak subyektif
(obyetktif).
D.
Masalik al-‘Illat
Dalam al-Qur’an maupun al-hadits, adakalanya ‘illat
tercantum dengan jelas, dengan kata lain ‘illat itu dapat dengan mudah
diketahui keberadaanya dan adakalanya sukar untuk diketahui. Untuk itu, masalikl
al-‘illat atau turuk al-illat diguakan untuk mengetahui eksisitensi
‘illat baik ‘illat yang sudah jelas maupun ‘illat yang
masih butuh pencarian mendalam. Musâlikul 'illat, ialah cara atau metode
yang digunakan untuk mencari sifat atau 'illat dari suatu peristiwa atau
kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. Diantara cara tersebut, ialah:
1.
Nash
yang menunjukkannya, berdasarkan konteks nash. Jika dilihat berdasarkan nash
tentang sifat suatu kejadian atau peristiwa yang merupakan 'illat itu
ada dua macam, yaitu sharahah (jelas) dan ima' atau isyarah
(dengan isyarat).
Dalalah sharahah, adalah
petunjuk ‘illat terletak pada nash al-Qur'an atau Hadits itu sendiri. Dalalah
sharahah ini ada dua macam, yakni dalalah sharahan qhat’i dan
dalalah sharahah dhanni.
Dalalah sharahah yang qath'i, ialah apabila
penunjukan kepada 'illat hukum itu pasti dan meyakinkan karena tidak
adanya kemungkinan makna lain selain yang disebut dalam nash biasanya ditandai dengan
lafadz من اجل
, لاجل , كي, dan
اذن [25]seperti
sabda Nabi Muhhammad SAW:
"Aku melarang kamu menyimpan daging
binatang kurban tidak lain hanyalah karena banyak orang berkumpul (memerlukan).
Dan (jika tidak banyak orang memerlukan) makan, simpanlah."(HR. an-Nasâ'i)
Pada hadits di atas diterangkan 'illat
Rasulullah SAW melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban, yaitu karena
banyak orang yang memerlukannya. 'Illat larangan menyimpan daging kurban
itu tidak dapat ditetapkan orang lain karena sudah jelas tertera dalam teks.
Dalalah
sharahah yang dhanni, ialah apabila penunjuk nash kepada 'illat
hukum itu adalah berdasar dugaan keras (dhanni), karena kemungkinan
dapat dibawa kepada 'illat hukum yang lain. Dalam dalalah sharahah in biasanya
ditandai dengan huruf ba’ ب , lam ل , fa’ ف , dan in ان. Seperti
firman Allah SWT dalam surat an-nisa' (4): 106 berikut:
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ
طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا
Maka disebabkan kedhaliman orang-orang Yahudi,
kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya)
dihalalkan bagi mereka"
Pada ayat di atas, Allah
menjadikan sifat dholim sebagai 'illat diharamkannya makanan yang
baik-baik bagi orang-orang Yahudi.
Sedangkan
dalalah ima' (isyarah), ialah petunjuk yang dipahami dari sifat yang
menyertainya, atau dengan perkataan lain ialah ada suatu sifat yang menyertai
petunjuk itu dan sifat itu merupakan 'illat ditetapkannya suatu hukum.
Jika penyertaan sifat itu tidak dapat dipahamkan demikian, maka tidak ada
gunanya menyertakan sifat itu. Contohnya seperti sabda Nabi Muhammad SAW :"Seseorang tidak boleh memberi
keputusan antara dua orang (yang berperkara) dalam keadaan ia sedang
marah."(HR. Bukhari dan Muslim).
Teks di atas menunjukkan larangan memberi
keputusan disandingkan atau disertai kata “dalam
keadaan ia sedang marah”. Jadi ‘illatnya adalah sifat yang
menyertainya, yaitu sifat marah. jadi ditetapkanya 'illat adalah karena
adanya indikasi yang menunjukkan adanya 'illat.
2.
Sifat (‘illat)
itu berdasarkan ijma' (kesepakatan mujtahid)
3.
Dengan
penelitian. Penelitian yang dilakukan antara lain:
a.
Munasabah
Munasabah
adalah kesesuaian keadaan atau sifat terhadap perintah atau larangan. Kesesuaian
itu haruslah dapat diterima akal, karena berhubungan dengan tujuan syari'at
yakni mengambil manfaat dan menolak
kerusakan atau kemudharatan bagi manusia. Kesesuaian (munasabah) ini dibagi 3
tingkatan:
1)
Tingkat dharuri (kebutuhan primer),
yakni sesuatu yang harus ada karena ia merupakan unsur utama tegaknya
kamaslahatan agama dan dunia yang tanpanya kemaslahatan dunia tidak akan
terwujud, karena jika kebutuhan ini tidak dilaksanakan maka akan timbul
kerusakan, bertambahnya kejahatan dan hilangnya kemaslahatan. Misalnya; ibadah,
makan-minum, pakaian, hukuman bagi orang-orang yang melakukan pelanggaran, dll.[26] Dalam
tingkatan ini, ada 5 hal yang harus dijaga:
a)
Menjaga agama (hifzdu dîn), dimaksudkan
untuk memerintahkan kaum muslimin agar menegakkan syi'ar-syi'ar Allah, seperti
mendirikan shalat yang lima waktu, puasa, zakat, haji, jihad dan sebagainya.
b)
Memelihara jiwa (hifzdu an-nafs), yakni
dengan adanya larangan membunuh dan disyari'atkannya hukum qishash.
c)
Memelihara akal (hifzdu aqli), syari'at
menjamin segala keselamatan, yakni dengan melarang hal-hal yang dapat merusak
akal atau hal yang dapat melemahkan akal, misalnya larangan minum khamr dan
semua perbuatan yang dapat merusak akal.
d)
Memelihara keturunan (hifzdu nasl),
yakni untuk menjaga silsilah nasab, oleh karenaya syari'at menganjurkan orang
yang mampu untuk segera menikah, dan
adanya larangan zina juga hukuman rajam bagi pezina.
e)
Memelihara harta (hifzdu mal), misalnya
ditetapkannya hukum potong tangan bagi pencuri, hukuman berat bagi perampok dan
sebagainya.
2)
Tingkat hajji (yang sangat diperlukan /
kebutuhan sekunder), yakni kebutuhan manusia yang dengannya dapat mempermudah
manusia menjalani hidupnya dan menghilangkan kesulitan. dan jika tidak
dilakukan tidak sampai mengancam jiwa, agama, harta, nasab dan akal. Sehingga
dalam hukum Islam ada yang disebut rukhshoh atau keringanan yang Allah berikan
untuk hamba-Nya agar tidak mengalami kesulitan. Misalnya keringan bolehnya
melakukan shalat dengan duduk bagi orang yang sedang sakit, bolehnya berbuka
puasa bagi musafir, dll.
3)
Tingkat tahsini (kebutuhan tersier). Kebutuhan
jenis yang ketiga ini sebenarnya hanya kebutuhan yang dengannya hidup terasa
nyaman dan terasa indah. Namun jika
kebutuhan tahsini tidak ada, maka kehidupan manusia tidak akan terasa
sulit karena kebutuhan tahsini hanya sebagai pelangkap hidup. Tahsini
adalah segala sesuatu yang baik dikerjakan, terutama yang berhubungan dengan
akhlak dan susila, misalnya sopan santun, dan dalam ibadat misalnya mengerjakan
perbuatan yang sunnah.
4.
Assabru
wa at-taqsîm
As sabru berarti meneliti
kemungkinan-kemungkinan dan taqsim berarti menyeleksi atau
memisah-misahkan. As sabru wa at-taqsim maksudnya ialah meneliti
kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa atau kejadian,
kemudian memisahkan atau memilih diantara sifat-sifat itu yang paling tepat
dijadikan sebagai 'illat hukum. As sabru wa at-taqsim dilakukan apabila
ada nash tentang suatu peristiwa atau kejadian, tetapi tidak ada nash atau
ijma' yang menerangkan 'illatnya. Assabru wa taqsîm ada 3 macam; 1) takhrij
al-manath, 2) Tanqîhul manath, 3) Tahqîqul manath.
a.
Takhrij al-manath adalah mencari
dan mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada ashl (dasar/pokok) dan furu'
(cabang). Pencarian dan pengumpulan ini dapat bersumber dari dalil, baik dalil sharih
maupun dalil isyarah (ima') juga bisa bersumber dari ijmak
mujtahid.
b.
Tanqihul
manath,
ialah mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada furu' dan sifat-sifat yang
ada pada ashal, kemudian dicari yang sama sifatnya. Sifat-sifat yang
sama dijadikan sebagai 'illat, sedang sifat yang tidak sama
ditinggalkan.
c. Tahqiqul manath, yaitu metode
penetapan 'illat. Maksudnya ialah sepakat menetapkan 'illat pada ashal,
baik berdasarkan nash atau tidak. Kemudian 'illat itu disesuaikan dengan
'illat pada furu'.[27]
E.
Perbedaan
antara Illat Al-Hukm dengan Hikmah Hukum
Ulama sepakat bahwa Allah SWT membentuk hukum
dengan tujuan untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Kemaslahatan itu adakalanya
dalam bentuk mengambil manfaat (jalbul
manâfi') dan adakalanya dalam bentuk menolak kerusakan dan bahaya (darul mafâsid). Kedua macam bentuk hukum
itu merupakan tujuan terakhir dari pembentukan hukum yang disebut hikmah hukum.
Dalam setiap pensyari’atan dapat dipastikan mengandung unsur maslahah karena
tidak mungkin Allah memerintahkan sesuatu kecuali di dalamnya terdapat
kemaslahatan bagi yang diperintah, yaitu manusia itu sendiri. Seperti
disyari’atkannya sholat, dewasa ini telah banyak diungkap nilai atau efek
positif dalam sholat yang hal ini baru diungkap setelah syari’at sholat itu ada
sejak empat belas abad yang lalu. Allah tidak mungkin melarang sesuatu kecuali
larangan tersebut memiliki dampak negatif bagi manusia. Hanya saja kita belum
mengetahui semua efek-efek disyari’atkannya suatu hukum.
Dalam proses penentuan hukum, dikalangan para
mujtahid sering terlarut dalam pembahasan dan pencampuran makna ‘illat hukum
dan hikmah hukum. Dengan kata lain, untuk mengklasifikasikan kategori antara ‘illat
hukum dan hikmah hukum masih samar-samar sehingga terkadang atau bahkan sering
terjadi pengaburan makna diantara keduanya. Jika dipilah-pilah dan diteliti
kembali, antara ‘illat dan hikmah sebenarnya mempunyai karakter masing-masing.
Sehingga keduanya tak bisa disamakan namun juga tak dapat dipisahkan mengingat
adanya keterkaitan yang sangat erat antara syari’at dan hikmah itu sendiri
karena setiap syari’at dipastikan ada hikmah yang terkandung di dalamnya.
Pentingnya kedudukan ‘illat dalam penentuan
hukum menuntut adanya penjelasan dari kesamaran-kesamaran percampuran makna
‘illat dan hikmah. Oleh karena itu, untuk menentukan illat safar kita perlu
membedakan karakter antara hikmah dan ‘illat terlebih dulu. Perbedaan hikmah
dan ‘illat adalah:
1.
Hikmah hukum merupakan pendorong pembentukan
hukum dan sebagai tujuannya yang terakhir ialah untuk kemaslahatan manusia di
dunia dan akhirat dengan memperoleh manfaat dan keuntungan serta terhindar dari
segala macam kerusakan. Sedangkan ‘illat hukum adalah suatu sifat yang
nyata dan pasti ada pada suatu peristiwa yang dijadikan dasar hukum. Contohnya,
saat seseorang melakukan safar, maka ‘illatnya adalah safar itu sendiri,
karena sifatnya sudah jelas dan pasti sehingga safar bisa dijadikan dasar
hukum. Sedangkan orang yang mengambil rukhshah dengan alasan masyaqqah
sebagai ‘illat susah diterima kerena masyaqqoh itu sifatnya
subyektif, ada yang merasa safar itu masayaqqah dan ada juga yang
menganggap safar itu tidak mengandung masyaqqah. Oleh karena masyaqqah
itu tidak akan dirasakn semua orang yang sedang safar (subyektif) maka tidak
bisa dijadikan dasat hukum. Hal ini dikarenakan masyaqqoh itu sebagai
tujuan akhir, yakni sebagai hikmah hukum.
2.
‘Illat merupakan pemicu disyariatkannya suatu
hukum, sedang hikmah adalah perkara yang menjelaskan hasil dan tujuan dari
hukum. ‘Illat itu ada sebelum adanya hukum. Sedangkan hikmah adalah
sebab positif dan hasil yang dirasakan kemudian setelah adanya peristiwa hukum
Sebagai contoh ialah seorang musafir boleh mengqashar shalatnya, seperti
mengerjakan shalat Dzuhur yang empat raka'at menjadi dua raka'at dan
sebagainya. Hikmahnya ialah untuk menghilangkan masyaqqah atau madharat
karena menghillangkan masyaqqah diperoleh setelah peristiwa hukum telah
dilakukan.
3.
Hikmah hanya merupakan dugaan saja dan tidak
dapat dijadikan dasar ada atau tidaknya hukum, sedang 'illat adalah
suatu yang nyata dan pasti, seperti safar (dalam perjalanan) menyebabkan seseorang
boleh mengqashar shalat. Sedangkan masyaqqah hanya sebagai dugaan yang
akan dialami orang yang melakukan safar.
Dari penjelasan
singkat di atas, kiranya jelas perbedaan antara ‘illat dan hikmah. Dari ini,
jelaslah mana ‘illat safar itu. apakah safar itu sendiri atau masyaqqah.
F.
Perbedaan
antara Illat Al-Hukm dengan Sebab
Mengenai 'illat hukum dan sebab hukum,
ada yang tidak membedakannya, mereka menyamakan arti kedua istilah tersebut.
Sebagian ulama lagi membedakannya, perbedaannnya adalah:
‘Illat adalah perkara yang menjadi sebab ada tidaknya
suatu hukum. Sedangkan sebab adalah tanda (‘amarah)
sebagai penanda adanya suatu peristiwa hukum, seperti
tergelincirnya matahari pada siang hari merupakan sebab seorang muslim wajib
mengerjakan shalat Dzuhur karena tergelincirnya matahari merupakan tanda
masuknya awal waktu sholat dhuhur. Demikian pula terbenamnya matahari pada hari
terakhir bulan Sya'ban merupakan sebab kaum muslimin besoknya mengerjakan puasa
bulan Ramadlan. Terbenamnya matahari juga merupakan tanda masuknya awal waktu
bulan ramadhan, oleh karenanya ia disebut sebab, bukan ‘illat.
‘Illat adalah pemicu disyariatkannya
suatu hukum. Jadi, ‘Illat adalah
sabab pensyariatan hukum, bukan sebab adanya hukum, sehingga ‘illat termasuk salah satu dalil-dalil
hukum. Contohnya adalah melalaikan shalat, yang digali dari firmanAlah :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا
إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang
beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu
kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Jumuah [62] :9)
Melalaikan shalat, menjadi sebab disyariatkanya
suatu hukum, yaitu larangan berjual-beli ketika azan Jumat. Dengan demikiain
disebut ‘illat bukan sabab. Hal ini
berbeda dengan tergelincirnya matahari, tergelincirnya bukan merupakan’illat
karena shalat dzuhur tidak disyariatkan karennanya. Itu hanya merupakan
tanda dimulainya waktu sholat dhuhur.
G.
Hikmah
Mengetahui ‘Illat Al-Hukm
Hikmah kita
mengetahui ‘illat adalah untuk mempermudah kita dalam memahami sebuah teks
sehingga kita tidak terjebak pada pemahaman tekstual yang mengesankan islam
sebagai agama yang ‘ketat’. Dengan mengetahui ‘illat (dan maksud syari’at)
hukum islam akan menjadi hukum yang selalu relevan disegala penjuru dan sesuai
dengan perkembangan zaman, dengan kata lain hukum islam itu bersifat elastis.
BAB III
A.
Definisi Safar dan Musafir
Safar, dalam kamus besar bahasa Indonesia
adalah perjalanan. Safari, berarti perjalanan atau petualangan jarak jauh,
suatu kegiatan ekspedisi (penyelidikan, penelitian, wisata, dsb). [28]Kata
safar berasal dari bahasa arab سُفُوْرًا- سَفْرًا –يَسْفُرُ- سَفُرَ
yang berarti
bepergian.[29]
Musafir, merupakan bentuk isim fa’il
dari kata سفر yang
berarti orang yang melakukan perjalanan atau orang yang bepergian. Dalam hal
ini, safar tidak sesederhana bepergian saja, karena yang dimaksud safar disini
adalah safar yang membolehkan seseorang mengambil rukhsoh, baik itu mengqasar
(meringkas) sholat atau berbuka puasa (jika puasa wajib seperti ramadhan). Oleh
karenanya, dalam hal ini ulama berbeda pendapat mengenai kategori seseorang
disebut safar (musafir). Kategori musafir yang diperdebatkan ulama mengenai
waktu lamanya dan jarak safar.
Mengenai batas waktu musafir, Jumhur (sebagian
besar) ulama yang termasuk di dalamnya imam empat berpendapat bahwa ada batasan
waktu tertentu. Semua ulama sepakat bahwa seorang musafir diperbolehkan
mengqoshor shalat selama dia berada di perjalanan. Namun jika dia sudah sampai
di tempat yang dia tuju dan tinggal beberapa hari di sana, berapa lama waktu
dia masih diperbolehkan mengqoshor shalat? Dalam masalah ini terdapat
perselisihan pendapat di antara para ulama. Diantara pendapat-pendapatya
sebagai berikut:
1.
Imam Malik dan imam Syafi’i berpendapat bahwa
jika berniat untuk bermukim lebih dari 4 hari, maka tidak boleh mengqoshor shalat.[30]
2.
Abu Hanifah dan Sufyan Tsauri berpendapat bahwa
jika musafir sudah berniat menetap di suatu tujuan selama 5 hari, shalatnya
tanpa mengqasar.[31]
3.
Madzhab Ahmad dan Abu Daud, tetap dikatakan
musafair selama tidak berniat menetap.[32]
Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yaitu musafir boleh
mengqoshor shalat terus menerus selama dia berniat untuk tidak menetap,
walaupun itu lebih dari 4, 15 atau 20 hari.
Ulama yang lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid
Ridha, Syaikh Abdur Rahman As-Sa'di, Syaikh Utsaimin, madzhab al-Hasan,
Qatadah, Ishaq dan para Ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa seorang
musafir diperbolehkan untuk mengqashar shalat selama berniat untuk
kembali ke kampung halamannya walaupun masih berada di perantauannya selama
bertahun-tahun. Pendapat ini karena tidak ada satu dalilpun yang sahih dan
secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Pendapat ini
berdasarkan dalil bahwa nabi pernah mengqosor sholatnya selama beliau di makkah
18,19 atau 20 hari. Sahabat Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwasannya Rasulullah
saw tinggal di Makkah selama Sembilan belas hari mengqosor sholat. Mereka
beragumen dengan dalil-dalil sebagai berikut :
حَدَّثَنَا
أَنَسُ بْنُ مَالِكُ قَالَ: - خَرَجْنَا
مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ - صلى
الله عليه وسلم - مِنْ اَلْمَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ،
فَكَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعْنَا إِلَى اَلْمَدِينَة .قلت أقمتم بمكة شيئا ؟ قال أقمنا بها عشرا) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ(
Anas bin malik
menceritakan; “kami keluar bersama Rosulullah saw dari madinah menuju makkah,
lalu beliau sholat dua raka’at dua roka’at sampai kami kembali ke madinah.” (HR.
Bukhari)[33]
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ
فَنَحْنُ إِذَا سَافَرْنَا تِسْعَةَ عَشَرَ قَصَرْنَا وَإِنْ زِدْنَا أَتْمَمْنَا)رواه البخاري (
Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam tinggal
selama 19 hari sambil melakukan qashar. Jika kami melakukan safar selama
19 hari, maka kami melakukan qashar. Dan jika lebih dari itu, maka kami
menyempurnakan shalat”
(HR. Bukhari)
Diriwayatkan dari
Jabir ra. Dia berkata, “Nabi saw. tinggal di Tabuk selama dua puluh hari sambil
tetap mengashar shalat”(HR.
Abu Dawud no. 1223, dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Sunan AbiDawud
no. 1094)
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa lama
watu seseorang disebut musafir tidak ditentukan. Hadits yang menyebutkan waktu
tidak bisa dijadikan patokan, karena yang demikian itu hanya merupakan
kejadian, bukan menerangkan batas waktu.[34]Para
salafush shalih seperti Ibnu Umar, pernah bermukim di Azerbaijan selama enam
bulan, selama musim salju dan beliau terus menerus shalat dua raka’at.[35]
Jadi seseorang dikatakan musafir jika seseorang
bepergian atau tinggal di suatu tempat tanpa berniat untuk menetap ditempat
tersebut. Adapun untuk orang yang sudah menetap dan memiliki tempat tinggal
permanen (seperti seorang pelajar yang merantau ke negeri orang dan menetap
beberapa tahun di sana), maka kondisi semacam ini sudah disebut mukim dan
tidaklah disebut musafir.[36]
Dilihat dari segi niat, an-Nawawi mengatakan bahwa jumhur berpendapat bolehnya mengqosor
sholat pada setiap bepergian yang
mubah[37]. pendapat ini
juga dipengangi Syafi’i dan Malik.[38] Sebagian
ulama’ salaf mengatakan, bolehnya qosor sholat jika safarnya karena takut.[39]
Sebagian ulama’ lainnya berpendapat boleh qosor dalam rangka mendekatkan diri
pada Allah seperti safar haji, umroh, atau jihad.[40]
Dan sebagian ulama lagi berpendapat boleh qosor pada setiap safar yang
diniatkan sebagai ketaatan pada Allah swt. Sedangkan Abu Hanifah dan
pengikutnya serta Tsauri berpendapat boleh mengqosor sholat baik safar yang
dilakukan dalam rangka ketaatan atupun kemaksiatan. [41]
B.
Jarak Safar
Menurut Para Ulama’
Para ulama telah berbeda pendapat dalam
menentukan jarak safar yang membolehkan untuk mengqashar shalat. Diantara
pendapat ulama’ adalah sebagai berikut;
1. Banyak ulama
berpendapat bahwa jarak safar yang diperbolehkan mengqoshor shalat adalah 6
farsakh atau 48 mil (85 km).
2. Abu Hanifah berpendapat
bahwa jarak safar yang diperbolehkan untuk mengqoshor shalat adalah apabila
menempuh perjalanan tiga hari tiga malam dan qosor hanya boleh dilakukan oleh
orang yang bepergian sangat jauh. [42]
3. Malik, Syafi’i,
Ahmad, dan ulama lain berpendapat jarak minimalnya adalah jarak yang ditempuh
selama perjalanan sehari.[43]
4.
Ulama zhahiri berpendapat jauh atau dekatnya
jarak perjalanan diperbolehkan mengqosor sholat[44].
Pendapat ini sejalan dengan pernyataan Syaikh Nashiruddin Al Albani
rahimahullah, ia berkata : Tidak ada batasan jarak tertentu dengan ukuran
kilometer atau marahil. Karena ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan
safar dalam Al-Qur`an berkaitan dengan qashar shalat ataupun kebolehan berbuka
(tidak puasa) di bulan Ramadhan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan safar
secara mutlak, tanpa menetapkan batasannya. Sebagaimana firman Allah dalam
surat al-baqoroh(2) 184 dan surat an-Nisa’(4)
... فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ
مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ…
….Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain….
Dalam surat
an-Nisa: 101 disebutkan;
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ
أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ
كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka
tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang
orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata
bagimu”.
Sebagaimana dalam kitab Nailul Author penulisnya
mengatakan: “Sebagian ulama-ulama Kufah, manakala hendak berpergian memilih
shalat dua raka’at, meskipun masih di daerahnya. Sebagian mereka ada yang
berkata :”Jika seseorang itu naik kendaraan, maka qashar saja kalau mau”. “Sesungguhnya
dia mukim di Makkah dan manakala dia keluar ke Mina, dia mengqashar (shalat)”.
Hadits ini sanadnya juga shahih, dan dikuatkan.
Apabila penduduk Makkah hendak keluar bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ke Mina, dalam haji Wada’, maka mereka mengqashar shalat juga sebagaimana
sudah tidak ada lagi dalam kitab-kitab hadits. Sedangkan jarak antara Makkah
dan Mina hanya satu farsakh. Ini seperti keterangan dalam Mu’jamul Buldan.
Sementara itu Jibilah bin Sahim memberitahukan : “Aku mendengar Ibnu Umar
berkata : “Kalau aku keluar satu mil, maka aku mengqashar shalat”. Hadits ini
disebutkan pula oleh Al-Hafidz dan dinilainya shahih. Dari peristiwa dia atas,
tidak ada hadits yang membatasi jarak safar.
5. Atau yang bisa
jadi patokan juga adalah jika saat safar seseorang itu butuh perbekalan ketika
melakukan perjalanan.
6. Seseorang dapat
dikatakan musafir jika telah menempuh jarak sejauh 3 mil. Sebagaimana hadits
yang diriwayatkan oleh Anas Bin Malik radhiallahu’anhu: Biasanya Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam kalau beliau keluar (melakukan
perjalanan) sejauh 3 mil atau 3 farsakh beliau melakukan shalat dua rakaat.
(HR. Muslim)
Dalam riwayat
ini perowi ragu-ragu antara tiga mil atau tiga farsakh, namun riwayat dari ibnu
umar menguatkan hadis di atas, ia berkata:
تقصرالصلاةفي
مسيرةثلاثةاميال )ابن ابي شيبة(
“Boleh diqosor sholat dalam perjalanan tiga
mil”.
Cat: 1 mil =
1609 meter, 3 mil= 3x 1609 =4827 meter. Jadi 3 mil = kurang lebih 5 km. [45]
Sedang 1 farsakh = 3 mil/1200 dzira’, setara dengan 5,59875 km.[46]
Selain mengenai
jarak dan waktu safar, ulama juga berbeda pendapat mengenai hukum mengqosor
sholat. Imam abu hanifah, pengikutnya serta ulama’ khufah berpendapat bahwa
hukumnya wajib. Sebagian pengikut syafi’i membolehkan memililih antara qosor
dan tidak. Sementara Syafi’i sendiri menghukumi
qosor hanya sebagai dispensasi dan tanpa qosor itu lebih baik. Berbeda lagi
dengan Imam malik, Ia berpendapat hukum qosor adalah sunnah.[47]
C.
‘Illat Safar
Dalam menentukan ‘illat safar, ulama berbeda
pendapat apakah ‘illatnya perjalan atau
safar itu sendiri ataukah masyaqqah. Sebagaimana halnya ulama’juga
berbeda pendapat mengenai jarak minimal safar untuk seseorang diperbolehkan
mengqosor sholat. Ada yang mengatakan jarak seorang dkatakan musafir jika telah
menempuh jarak 85 km. ada juga yang mengatakan jika perjalanan ditempuh tiga
hari barulah seseorang dikatakan musafir. Perbedaan pendapat mengenai jarak ini
muncul setelah zaman para sahabat atas dasar adanya masyaqqoh karena kesulitan
yang dialami nabi dan para sahabat berbeda dengan kesulitan yang ditempuh saat
itu yang jika yag menjadi ukuran adalah jarak. Dengan kata lain, pertimbangan masyaqqohlah
yang menyebabkan perbedaan pendapat dalam menentukan jarak safar.
Namun demikian, penjelasan-penjelasan
sebelumnya penulis sudah memaparkan kriteria-kriteria ‘illat dan apa perbedaan
antara ‘illat dengan hikmah. Dalam keterangan di atas, penulis telah
menyebutkan bahwa ‘illat safar adalah safar atau perjalanan itu sendiri,
sedangkan masyaqqah bukan merupakan ‘illat melainkan sebagi
hikmah yang diperoleh setelah peristiwa hukum dilaksanakan. Fuqaha' mengatakan:
hikmah diperbolehkannya berbuka puasa pada bulan Ramadhan adalah menolak
masyaqqah bagi orang yang sakit dan safar.[48]
Hal ini secara eksplisit telah ditunjukkan nabi dalam sabdanya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكُ قَالَ: - خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مِنْ اَلْمَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ، فَكَانَ يُصَلِّي
رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعْنَا إِلَى اَلْمَدِينَة) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ(
Anas Bin Malik
menceritakan; “ kami pernah keluar (safar) bersama Rasulullah saw dari madinah
ke makkah, dan beliau sholat dua raka’at hingga kami kembali ke madinah” (Muttafaq ‘Alaih)
Dari hadits ini menerangkan bahwa nabi tetap
mengqosor sholat meski telah sampai ditempat tujuan. Dan dalam hadits ini juga
tidak menerangkan bahwa nabi dalam keadaan kesulitan sehingga mengharuskan
beliau mengambil rukhshoh karena adanya masyaqqoh. Dalam riwayat lain nabi juga
bersabda:
عَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَمْرٍو الأَسْلَمِىِّ أَنَّهُ قَالَ
لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : إِنِّى أَجِدُ بِى قُوَّةً عَلَى
الصِّيَامِ فِى السَّفَرِ فَهَلْ عَلَىَّ جُنَاحٌ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- :« هِىَ رُخْصَةٌ مِنَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَمَنْ
أَخَذَ بِهَا فَحَسَنٌ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصُومَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ ».) رواه مسلم(
“Dari Hamzah Bin Amr Al-Aslami bahwasannya ia
berkata: ya Rasulullah, saya mampu berpuasa ketika safar, apakah saya
berdosa (jika saya berpuasa)? Lalu
Rasulullah saw bersabda: ia (berbuka) adalah rukhshoh dari Allah, barangsiapa
yang mengambil rukhshohNya maka itu baik. Dan barangsiapa suka berpuasa, maka
tidak ada dosa baginya.” (HR. Muslim)
Hadits di atas menerangkan bolehnya seseorang
yang mampu (kuat) melanjutkan puasanya saat safar itu dibolehkan. Seandainya masyaqah yang menjadi ‘illat (motivasi hukum), tentu nabi akan
mewajibkan sahabat yang bertanya tersebut untuk tetap berpuasa karena mengaku
masih sanggup berpuasa. Pertanyaan sahabat “apakah
saya berdosa (jika saya berpuasa)?” dan
jawaban nabi: “ia (berbuka) adalah
rukhshoh dari Allah, barangsiapa yang mengambil rukhshohNya maka itu baik”, menunjukkan
bahwa berbuka puasa adalah rukhshoh yang Allah berikan pada hamba-Nya yang
melakukan safar. Dan jawaban nabi: “barang siapa suka berpuasa, maka tidak ada
dosa baginya” menunjukkan boleh berbuka tanpa syarat apapun
(masyaqoh).Sedangkan musafir yang memaksakan diri tetap berpuasa padahal puasa
itu dirasa berat baginya, nabi menyebutnya sebagai orang yang durhaka.
Sebagaimana sabdanya:
عَنْ جَابِرٍ : أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ إِلَى مَكَّةَ عَامَ الْفَتْحِ فِى رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى
بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ وَصَامَ النَّاسُ مَعَهُ فَقِيلَ لَهُ : يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّ النَّاسَ قَدْ شَقَّ عَلَيْهِمُ الصِّيَامُ فَدَعَا بِقَدَحٍ مِنْ
مَاءٍ بَعْدَ الْعَصْرِ فَشَرِبَ وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ فَأَفْطَرَ بَعْضُ
النَّاسِ وَصَامَ بَعْضٌ فَبَلَغَهُ أَنَّ أُنَاسًا صَامُوا فَقَالَ :« أُولَئِكَ
الْعُصَاةُ ».
“Bahwasannya
pada bulan ramadhan Rasulullah keluar pada tahun kemenangan menuju makkah. Lalu
beliau dan orang-orang berpuasa hingga sampai di kura’ul ghanim, kemudian ia
meminta sekendi air lalu ia angkatnya hingga orang-orang melihatnya, lalu ia
minum. Lalu dikatakan padanya : sesungguhnya sebagian orang berpuasa, lalu nabi
menjawab: mereka itu durhaka, mereka itu durhaka.” (HR. Muslim)
عَنْ جَعْفَرٍ
بِهَذَا الإِسْنَادِ وَزَادَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ شَقَّ عَلَيْهِمُ
الصِّيَامُ وَإِنَّمَا يَنْظُرُونَ فِيمَا فَعَلْتَ. فَدَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ
بَعْدَ الْعَصْرِ.
"Dari Ja’far
dengan sanad ini dan Ia menambahkan. Lalu dikatakan padanya sesungguhnya
orang-orang telah kepayahan berpuasa, dan mereka hanya mununggu tindakan
engkau. maka ia minta sekendi air sesudah ashar, lalu ia minum. (HR.
Muslim).
Dari penjelasan yang disertai dalil-dalil di
atas, melaksanakn rukhshoh baik mengqoshor shalat, berbuka puasa, dan menjama’
sholat (taqdim atau ta’khir) tetap boleh dilakukan walaupun safar yang
dilakukan penuh kemudahan. Keringanan qoshor shalat itu ada karena
melakukan safar dan bukan karena alasan mendapat kesulitan. Bolehnya melakukan/
mengambil rukhshoh yang Allah berikan dikaitkan dengan safar dan bukan
dikaitkan dengan kesulitan. Sehingga walaupun safar yang ditempuh penuh
kemudahan, tetap masih diperbolehkan untuk mengqoshor shalat. Oleh karenanya ‘illat
safar adalah safar itu sendiri, sedangkan masyaqoh adalah hal yang harus
dihindari agar kita memperoleh kemudahan.Dan kemudahan atau maslahat yang kita
dapati setelah melakukan peristiwa hukum bukanlah disebut ‘illat, melainkan
hikmah hukum seperti yang telah dipeparkan di atas, mengenai perbedaan ‘illat dan
hikmah. Allah juga telah menegaskan dalam firmanNya bahwa Islam itu agama yang
mudah, tidak mempersulit.
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Safar adalah perjalanan yang ditempuh dengan
jarak minimal 3mil atau setara dengan kurang lebih 5km selama tidak ada niat untuk
menetap. Jadi seseorang dikatakan musafir jika ia bepergian atau tinggal
disuatu tempat tanpa berniat untuk menetap ditempat tersebut tanpa batas waktu.
Adapun untuk orang yang sudah menetap dan memiliki tempat tinggal permanen,
maka kondisi semacam ini sudah disebut mukim dan tidaklah disebut musafir.
Adapun ‘illat safarnya adalah bepergian
itu sendiri tanpa mensyaratkan adanya masyaqqoh yang dialami musafir. Pendapat
ini didasarkan pada jelasnya ‘illat yang
tertera dalam ayat (‘illatnya diambil dari nash yang sharih). Di sisi lain,
penulis tidak menemukan dalil baik dalam Qur’an maupun hadits yang menjelaskan
keumuman ayat-ayat mengenai safar ‘illat safar yang berupa maysaqqoh. Adapun masyaqqoh
yang dianggap ‘illat, sebenarnya merupakan hikmah disyari’atkannya suatu hukum yang
timbul setelah peristiwa hukum dilaksanakan. Selain itu, salah satu kriteria
‘illat adalah pasti, bukan subyektif. Sedangkan masyaqqoh itu sifatnya
subyektif.
[1] Khoiriyah,
M.Ag, Islam dan logika modern, cet 1. Yogyakarta: Ar-ruzz media. 2008.
[2] Muhsin
hariyanto, memahami nalar fikih: dari teks menuju konteks. Tanpa cetak.
[3] Kesesuaian
pendapat Ulama’ tentang hukum agama.
[4] Defkriptif
berarti menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, dan
untuk menentukan frekuensi atua
penyebaran suatu gejalaadanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan
gejala lain dalam masyarakat. Analisis adalah jalan yang dipakai untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan pemerincian obyek yang
diteliti dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu denga yang
lainnya untuk memperoleh kejalasan mengenai halnya.
[5] Ahmad Warson
Munawwir, Al-munawwir, cet-14 (surabaya: pustaka progresif, 1997), hlm
965.
[6] Badrun Abu
Al-‘Ina’in Badrun, ushul fiqh al-islami, Iskandaria.
[9] H. Asjmini
Abdurrahman,Memahami Makna Tekstual, Kontekstual Dan Liberal, Cet. Ke-2 (Yogyakarta; suara muhammadiyah,
2008), hlm. 27.
[11] Ibid, hal
77.
[12] . ibid
[13] Yusuf
Qardhawi, Ijtihad Kontemporer. Surabaya: Risalah Gusti, 2009, hal 106.
[15] Syaikh
Muhammad Al-Khudhari Beik, Ushul Fikih, (Jakarta; Pustaka Amani, 2007), hlm 659.
[17] T. M. Hasbi
Ash Shiddieqy, Sari Kuliah Ushul Fiqih, Yogyakarta: Ramadhani Sala, 1977, hlm 22.
[19]
Ibid,
[20] T. M. Hasbi
Ash Shiddieqy, Sari Kuliah Ushul Fiqih, Yogyakarta: Ramadhani Sala, 1977,
hlm 22.
[21]
Badrun Abu
Al-‘Ina’in Badrun, Ushul Fiqh Al-Islami, Iskandaria. Hlm 174.
[23]
Ibid, lihat juga sari kuliah karya M. Hasbi Ash Shiddieqy, hlm 22 dan Ushul Fikih karya Badrun
Abu Al-‘Inain, hlm 175.
[25]
Badrun Abu
Al-‘Ina’in Badrun, Ushul Fiqh Al-Islami, Iskandaria, hlm 178.
[27]
Contoh dari ke-3 dari metode assabru wa
taqsîm adalah dalam penentuan 'illat perwalian nikah bagi perempuan.
Dalam pencarian 'illat ini mujtahid menganggap perwalian harta anak
yatim sebagai ashl, dan perwalian nikah sebagai furu'nya. dalam
an-nisa ayat 6 disebutkan
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى
حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا
إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
“Dan ujilah anak yatim itu sampai
mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah
cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya.
Dari ashl lalu yang
dilakukan mujtahid adalah dengan mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada
keduanya. sifat yang sama antara keduanya adalah; 1) bikr (perawan), 2)
belum balig, atau 3) belum dewasa.
Pengumpulan sifat inilah yang disebut takhrijul manath. Setelah
mengumpulkan sifat yang ada pada ashl dan furu', Mujtahid hendaknya
melakukan metode yang ke-2 yakni tanqihul manath. Dari ke-3 sifat di
atas, manakah yang menjadi 'illat, apakah perawan, anak kecil, atau
belum dewasa. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa para wali mujbir boleh
menikahkan anak kecil wanita tanpa persetujuan anak itu, namun pendapat ini
tidak didasarkan pada nash yang menerangkan 'illatnya. Karena itu para
mujtahid meneliti sifat-sifat yang mungkin dijadikan 'illatnya seperti
yang disebutkan dia atas. Sedangkan 'illat dalam perwalian harta anak
yatim disebutkan dalam ayat 6 surat an-Nisâ'
dalam ayat tersebut disebutkan bahwa tidak dewasa dapat dijadikan 'illat
seorang wali menguasai harta seorang yatim yang belum dewasa. Setelah dipilih
satu dari tiga sifat di atas, maka kedua sifat yang dianggap tidak sesuai itu
dibuang. Penyeleksian inilah yang disebut tanqihul manath.
Adapun
penetapan ulama' mengenai sifat belum dewasa itu sebagai 'illat
kebolehan wali mujbir menikahkan anak perempuan yang berada di bawah
perwaliannya tanpa seizinnya (karena
diqiyaskan pada perwalian harta anak yatim) merupakan metode tahqiqul
manath.
[28] Kamus besar
bahasa indonesia
[29] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, cet-14
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal 935.
[30]
Ibnu Rusd, Bidayatul
Mujtahid, Jakarta: Pustaka Imani. Cet-1, 1989, hal 380.
[31] Ibid,
[32] Ibid,
[33]
Shahih bukhari,
no. 1080.
[34] Lutfi Abdullah Ismail, Ayat-Ayat Hukum, cet-1, Bangil;
Pustaka Elbina, 2000. Hlm 95.
[36] Lutfi abdullah
ismail, ayat-ayat hukum, cet-1, Bangil; pustaka elbina, 2000. Hlm 95
[38]
Ibnu Rusd, Bidayatul
Mujtahid, Jakarta: Pustaka Imani. Cet-1, 1989, hal 378.
[39]
Ibnu Rusd, Bidayatul
Mujtahid, Jakarta: Pustaka Imani. Cet-1, 1989, hal 373.
[40]
Ibid, hal 378
[43] Ibid,
[45] A. Qadir
Hasan, Kata Berjawab, Surabaya: Pustaka Progresif. Cet-2. Hlm 82.
[46] Ibnu Rusd, Bidayatul
Mujtahid, Jakarta: Pustaka Imani. Cet-1, 1989. Hlm pendahuluan. Ixiii
[47] Idem, hlm. 374
[48] Badrun Abu
Al-‘Ina’in Badrun, Ushul Fiqh Al-Islami, Iskandaria. (tanpa tahun
terbit)
0 komentar:
Posting Komentar