Minggu, 15 Juli 2012
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Saat masa nabi, volume hadis
tidak terlalu banyak. Menurut ulama’ hadis, populasi
hadis kian membengkak saat terjadi fitnah kubro, yakni saat terjadinya konflik
antara ‘Ali dan Mu’awiyah pada masa pemerintahan khalifah Ustman bin Affan.
Awalnya, pemalsuan hadis dilakukan oleh kalangan syi’ah untuk menyebutkan
kelebihan-kelebihan Ali bin abi thalib beserta keluarganya (ahlul bait). Begitu
juga sebaliknya, kaum ahlus sunnah yang pengetahuannya masih dianggap sedikit
juga membuat tadingan-tandingan kaum syi’ah dengan memuat-buat hadis palsu guna
menunjukan keutamaan Abu Bakr, Umar, Ustman, dan Mu’awiyah. Dari peristiwa
inilah populasi hadis kini makin membengkak.
Pada
masa Nabi, pemalsuan hadis sebenarnya sudah terjadi. Misalnya saja hadis dari yang
diriwayatkan dari Abu Buraidah. Ia berkata, ada seseorang datang pada
masyarakat kampung dekat madinah lalu orang itu berkata “sesungguhnya Rasulullah
telah memerintahkan kepadaku untuk memutuskan sesuatu berdasarkan pendapatku
sendiri mengenai masalah ini dan itu”.
Saat di laporkan pada Rasulullah beliau bersabda “musuh Allah itu adalah
berdusta”.
Adanya pemalsuan hadis pada
masa Nabi tidak kemudian meruntuhkan atau bahkan sekedar mempertanyakan
kredibilitas sahabat karena hal-hal demikian ini tidak lebih dari kelakuan
orang-orang munafik yang ada pada masa itu dan para sahabat tidak mungkin
berdusta atas nama nabi apalagi berkenaan dengan Agama. Memang, kita ketahui
dan kita akui sahabat bukanlah orang yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) yang
pasti ber-titel layaknya manusia biasa yang syarat akan kesalahan. Dalam
hal muamalah sahabat sangat mungkin melakukan kesalahan. Namun, dalam hal periwayatan hadis, sahabat jelas dalam
keadaan adil dan sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Misalnya, sikap
para sahabat yang memiliki beberapa syarat ketat untuk menerima suatu hadis.
Kredibilitas sahabat mulai dipertanyakan sejak terjadinya fitnah kubro pada
masa Usman. Seperti yang dikutib Shalahuddin Ibnu Ahmad al-Adlabi, Dr. Mustofa
as-Siba’i mengatakan bahwa batas kemurnian sahabat dalam hal periwayatan yakni
pada tahun 40H karena munculnya berbagai aliran yang ada sesudahnya. Hal ini tergambar
dari perbuatan Mu’awiyah dimana Ia selalu memperingatkan masyarakatnya agar
menghindari hadis yang tidak pernah ada di masa Umar bin Khatab.
Faktor lainnya adalah menghancurkan
Islam dari dalam dan berniat memporak-porandakan akidah umat Islam. Pemalsuan semacam ini banyak diperankan
orang-orang Zindik yang banyak menyusupkan banyak hadis berkenaan dengan sifat
Allah yang diniatkan mencela Islam dan membuat ragu pemeluknya. Contohnya hadis
yang berbunyi “sesungguhnya Allah mencucurkan air mata lalu malaikat
menghiburnya”. Hadis semacam ini jelas menggambarkan kelemahan Allah. Bagaimana
bisa Allah menjadi Tuhan yang lemah dan malaikat sebagai penghibur?
Faktor selanjutnya adalah
Pembelaan terhadap aliran yang dianut. Misalnya politik, Agama, dan geografis.
Contohnya, “mencitai Ali adalah sebuah kebaikan yag tidak akan terhapus oleh
keburukan apapun..”. Contoh hadis palsu dalam pembelaan terhadap pembelaan
aliran Agama, “ akan ada diantara umatku seorang bernama Muhammad bin Idris.
Dia lebih berbahaya dari iblis. Dan diantara mereka ada yang bernama abu
Hanifah, dia adlaah pelita bagi mereka”.
Motif lain adanya pemalsuan
hadis adalah Motif duniawi, yakni untuk mencari rizki, seperti hadis, “ terong
adalah obat segala macam penyakit”. Motif duniawi lainnya adalah untuk mendekati
penguasa, dan mencari pendukung/massa. Motif mencari massa biasa dilakukan
dalam bentuk kisah-kisah, dan pemalsuan hadis merupakan cara efektif agar kisah
yang dibawakan dapat diterima. Hal ini dilakukan tidak lain hanya untuk
menampilkan kisah baru dan aneh agar pendengar merasa kagum. Tokoh pertama
pemalsuan hadis dengan kisah ini diawali oleh Tamim ad-Dariy denngan niat untuk
mengingatkan orang akan hari kiamat, segala bentuk kenikmatan dan siksaan.
Selain terjadinya perpecahan
umat Islam, pemalsuan hadis juga berasal dari perbuatan orang sholeh yang
diniatkan untuk kebaikan, yakni dalam rangka targhib wa tarhib. Hal ini
dikarenakan mereka merasa gelisah dengan dekadensi moral yang terjadi di
masyarakat dan mereka melihat kelesuan masyarakan dalam berbuat kebaikan. Hadis
palsu yang dibuat hanya ingin memotivasi masyarakat untuk segera melakukan
perbaikan misalnya agar umat lebih mencintai al-Qur’an, rajin ibadah dan takut
untuk melakukan maksiat.
Selain faktor-faktor sengaja,
hadis palsu juga hadir karena ketidaksengajaan perowi. Misalnya seorang perowi
yang menganggap hadis mauquf (bersumber dari sahabat) sebagai hadis marfu’
(perkataan Nabi). Ada pula dikarenakan adanya penyusupan hadis yang dilakukan
orang lain dan memasukkannya dalam kitab orang tsiqoh tanpa sepengetahuan
pemilik kitab dan Ia tidak sadar telah meriwayatkan hadis itu atau mengira
hadis tersebut benar-benar dari dirinya. Hal ini seperti yang dialami Hammad
ibn Salamah yang koleksi hadisnya disisipkan hadis palsu oleh anak tirinya, Ibn Abu al-‘Auja’ dan juga dialami oleh Sufyan
ibn Waqi’ibn al-Jarrah yang koleksi hadisnya disisipi hadis palsu oleh tukang
kertas, Qurthumah.
0 komentar:
Posting Komentar